Senin, 21 Juni 2010

KONFLIK HORIZONTAL DI HALMAHERA UTARA-MALUKU UTARA 1999 (Suatu Tinjauan Sosio-Historis)

KONFLIK HARIZONTAL
DI HALMAHERA UTARA-MALUKU UTARA 1999
(Suatu Tinjauan Sosio-Historis)

Oleh : Ajuar Abdullah


I. Pengantar

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang pluralistik, ini dilihat dari terdapat berbagai etnis, suku dan agama. Keberagaman ini merupakan potensi yang sangat bernilai yang dapat memberikan kontribusi dalam mewujudkan pembangunan nasional. Namun disisi lain, keberagaman jika tidak di kelolah secara maksimal maka akan menjadi potensi konflik yang bersifat horisontal dengan berbagai permasalahan yang sangat kompleks.
Realitas saat ini dimana Indonesia yang dalam memasuki era melenium ketiga di abad 21 diwarnai oleh berbagai konflik di daerah mulai dari Aceh, Kalimantan Tengah, Yogyakarta, Maluku, hingga Papua. Sehingga harapan kita yakni keberagaman budaya yang seharusnya menjadi bagian kebangsaan kini menjadi batu sandungan yang amat riskan untuk kemajuan bangsa. Konflik yang terus terjadi di daerah dengan skala yang berbeda ini dan tidak kunjung selesai dikarenakan cara penyelesaian konflik yang dilakukan oleh Pemerintah tidak efektif, dimana substansi permasalahnya tidak di sentuh. Selain itu, tragedi di Halmahera Utara 1999 juga seharusnya dijadikan sebagai catatan kritis untuk melihat masa depan negara ini karena jika konflik terus terjadi maka peluang untuk melahirkan disintegrasi bangsa semakin besar. Karna faktor yang mempengaruhi konflik sangat beragam yakni menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia seperti ideologi politik, agama, ekonomi, dan sosial budaya.
Namun jika kita menyelusuri akar sejarah tentang awal-mula terjadinya konflik di Maluku Utara, maka berawal di era Lodewijk de Bortomo tercatat sebagai pelaut Portugis pertama yang tiba di Maluku Utara pada 1506 yang disusul kemudian oleh Fransisco Serrao yang tercacat sebagai orang Eropa pertama yang menetap di Ternate. Konflik awal ini kita lihat pada pertempuran di jazirah Leihitu, Ambon yang melibatkan pasukan kerajaan Gowa dan Ternate yang Islam melawan pasukan Portugis yang Katolik dengan dibantu oleh penduduk Ambon yang Kristen adalah catatan konflik kolonial pertama di bumi Nusantara. Konflik ini pun berlanjut hingga datanganya bangsa Belanda. Pertempuran Kapaha- Ambon misalnya adalah catatan buruk bagi reputasi pasukan VOC di Indonesia. Dalam konteks historis inilah kemudian konflik yang terjadi di Maluku Utara saat ini tidak terlepas dengan pengaruh hegemoni bangsa asing yang telah terbangun ribuan tahun silam.
Jika kita mengamati kembali perkembangan pertikaian berdarah di Maluku Utara dan Ambon di tahun 1999 ada kesamaan isu yang dibangun pada permulaan pertikaian tersebut yakni isu suku. Tragedi berdarah tersebut menyebabkan ribuan orang meninggal dan luka parah serta penderitaan sosial dan psykologis akibat kehilangan sanak keluarga dan hidup di tanah pengungsian. Maka untuk menelaah lebih jauh mengenai konflik horisontal di Maluku Utara dibutuhkan segenap pemikiran kritis guna melacak akar konflik tersebut. Ini dikarenakan hingga kini sebagian besar peneliti dan penulis terhipnotis dengan isu yang muncul ke permukaan seperti kepentingan untuk merebut sumber daya alam, status tanah ulayat, pembentukan kecematan Malifut, dan perebutan kursi gubersur akibat dari pengaruh suhu politik nasional, bagi penulis isu tersebut hanyalah isu pelengkap dari satu isu utama.
Sebagai sebuah ilustrasi singkat ketika reformasi bergulir 1998, peta politik skalah nasional berubah secara dratis dan hal ini mempengaruhi kondisi politik di daerah, khusunya Maluku utara. Perubahan politk ini kemudian melahirkan kepentingan dikalangan elit lokal untuk menduduki posisi formal di daerah dengan menyuarakan pembentukan propinsi Maluku Utara. Perubahan politik yang tidak dibaringi dengan kesiapan mental masyarakat untuk berpolitik kemudian melahirkan perpecahan akibat perbedaan kepentingan tersebut. Namun dari beberapa isu di atas jika dijadikan sebagai isu utama maka kita kehilangan jejak dalam melacak akar konflik tersebut, sehingga dengan tulisan ini penulis berusaha untuk mencari faktor utama tragedi berdarah tersebut dengan paradigma sejarah sebagai pisau analisis.


II. Penyebaran Islam Di Halmahera Utara
Penyebaran Agama Islam pertama kali di Halmahera Utara dilakukan oleh kesultanan Ternate dan Tidore. Penyebaran ini dimulai ketika kepemimpinan Sultan Zainal Abidin yang telah mendalami Ilmu Islam di Sunan Ampel. Semangat Islamisasi ini kemudian dilanjutkan oleh putranya Sultan Bayanullah dengan metode penyebaranya di kalangan petinggi kesultanan sehingga dengan mudah mereka menyebarkanya kepada masyarakat luas. Ekspansi Islam kemudian sampai ke Halmahera Utara, namun tidak ada bukti tertulis yang menggambarkan tarikh masuknya agama Islam di Halmahera Utara secara tepat dan benar. Namun bisa digambarkan bahwa para pedagang, perantau, dan nelayan di pesisir pantai Halmahera yang menganut Islam pertama yang dibawakan oleh para Ulama. Hal ini akibat dari terisolasinya wilayah pedalaman dan pesisir menyebabkan proses Islamisasi terhambat, dan hingga abad ke 19 daerah pedalaman Kao, Galela, Sahu, Jailolo, dan Ibu belum tersentuh oleh Islam.
Penyebaran ini kemudian terhambat dengan kedatangan bangsa Portogis, Spayol, dan Belanda yang juga memboncengi ajaran Kristen Katolik dan Prosestan. Akibat dari politik adu domba, sehingga pihak kesultanan harus mengerahkan seluruh pikiran, tenaga dan waktu guna mempertahankan eksistensi kerajaan dan ajaran Islam.
Memasuki tahun 1900-an, ada tiga tokoh penting dalam penyebaran Islam di Halmahera Utara. Ketiga tokoh tersebut adalah, Haji Abdullah Hoatseng (1874-1970) yang menjabat Imam (Distrik = Kecematan) Tobelo, Haji Muhammad Amal (1880-1960) sebagai Imam Galela dan Haji Umar Jamaa sebagai Imam Morotai. Ketiga tokoh ini sangat berperan dalam Islamisasi di Halmahera Utara mengingat karena kondisi objektif Tobelo dimana seluruh daerah di Tobelo telah di Kristenkan oleh Zending Belanda dari Utrecht (Utrechtsche Zending Genootschap). Hanya di Tobelo Utara komunitas Muslim masih terdapat di banyak daerah yakni di Gorua, Popilo, dan Luari itu pun campuran antara Kristen dan Islam dan itu berarti seluruh kawasan Tobelo telah di Kristenkan. Namun hal ini tidak membuat Imam Haji Abdullah berkecil hati, terbukti setelah berusaha selama 20 tahun untuk mengislamkan komunitas campuran terjadi perubahan yang signifikan yakni Gamsumi, Gorua, Tolonuo, Luari dan Popilo berubah menjadi Mayoritas Islam. Selain itu Gamhoku, Imam berhasil membendung ekspansi Kresten sehingga sektor ekonomi dikuasai oleh kaum Muslim.
Memasuki tahun 1934, kesepakatan antara ketiga Imam tersebut untuk mendirikan lembaga pendidikan sebagai wadah dakwah yang ideal, yang pada tahun 1938 mereka mendirikan Muhammadiyah. Program penyebaran Islam oleh Imam di Tobelo terhadap komunitas campuran mendapat protes dari Zending. Zending mengirimkan protes kepada Sultan Ternate yakni Sultan Jabir Syah untuk menghentikan cara-cara penyebaran agama oleh Imam, dan pada tahun 1929 Imam pernah di panggil Sultan untuk klarifikasi protes Zending, setelah mendengar alasan-alasan Imam, Sultan dapat membenarkan tindakanya . Islamisasi di Galela berjalan mulus akibat dari penguasaan lahan oleh Zending hanya 2 kampung yakni Duma dan Soatabaru secara penuh. Sedangkan yang lainya Zending hanya menguasai seperdua (Soakonora, Mamuya, Seki dan Bale). Penyebaran Islam yang dilakukan oleh Imam sangat metodis yakni dengan cara Dakwah yang khas, selain secara verbal juga dengan seni membaca Al-Qur’an, seni suara hadrat bahkan dengan sandiwara.
Sejak Imam memegang kendali di Galelah, missi Zending memperoleh kendala yang ketat dan gerak majunya terhenti, walaupun zending di pimpin oleh pendeta-pendeta yang cakap seperti Van Baarda yang telah bermukim di Galela selama 32 tahun. Namun berbeda dengan perkembangan Islam di Morotai yang dilakukan oleh Imam Haji Umar Jamaa sedikit menemui kendala ini dikarenakan daerah Morotai yang sangat luas dengan keadaan geografis yang sangat sulit untuk musim-musim angin tertentu, selain itu Zending Tobelo dan Galela telah mendirikan pos-pos penyebaran Injil di Tanjung wilayah Morotai seperti Daeo, Sambiki, Sangowo dan Buso-Buso. Hal ini membuat seluruh tenaga terkuras untuk menghadapi penyebaran Injil yang dilakukan oleh Zending, namun karna selalu sabar dan didukung oleh para tokoh-tokoh Islam lainya, maka daerah Morotai menjadi mayoritas beragama Islam.

III. Penyebaran Kristen di Halmahera Utara
Masuknya agama Kresten di Halmahera Utara di awali sejak masuknya Portugis. Pada tahun 1536, Antonio Calvao menjadi walinegeri ke-7 di Ternate, ia mengirim Pastor Ferdinand Vinogre ke Mamuya. Upaya ini tidak berhasil. Konon kegagalan Vinogre selain dimusuhi rakyat, juga karna tekanan dari Sultan Jailolo. Karna berbagai kegagalan dalam Kristenisai maka Raja Muda Portogis di Goa pada tahun 1542 mendatangkan Franciscus Xaverius seorang misonaris yang sangat jenius. Dengan metode penyebaran di kalangan elit, ia berhasil mempengaruhi istri Sultan Bayanullah yang telah pisah yakni Nyai Tsyili. Setelah beberapa lama di Ternate, Xaverius melakukan perjalanan mengilingi Halmahera Utara (Morotia dan Morotai) praktis tidak membawa hasil yang memadai. Namun dengan politik pecah bela (devide et impera), kerajaan kecil menjadi sasaran gerakan tersebut dengan tujuan melemahkan kerajaan besar seperti Ternate dan Tidore. Raja Mamuya dari kerajaan kecil Morotia misalnya, dilindungi dari ancaman Kerajaan Ternate asalkan ia mau masuk Kristen. Akhirnya sang Raja tersebut beralih menganut agama Kristen demi keselamatanya. Proses penyebaran ini terus berlanjut hingga pengusiran Portugis oleh Babullah dan kedatangan Belanda. Pada tahun 1866, tiba di Galela dan Tobelo pendeta-pendeta dari Perhimpunan Zending Utrecht (Utrechtshe Zending Genootschap (UZG) ) di bawah pimpinan H.H. Bode dan Van Dijken. Mereka menetapkan Galela sebagai pusat Kristenisasi dan membangun pos-pos oprasionalnya di tempat yang dianggap penting di Halmahera Utara.
Berdasarkan bahan-bahan publikasi dan laporan-laporan pemerintah, UZG sudah mengetahi bahwa didaerah-daerah pesisir Halmahera Utara yang mereka bidik, sudah merupakan komunitas Islam. Lima tahun pertama, hasil Zending nol besar hingga kedatangan Van Baarda dalam tahun-tahun tugasnya, ia mampu menggarap kampung-kampung disekitanya. Seperti Dokumalamo dan Soatobaru mulai di Kristenkan. Dalam tahun 1905, mereka mulai membentuk pos-pos guna mengorganisir dengan cepat. Suatu hal yang sangat mencolok dari penempatan Pos-pos ialah bahwa semuahnya dilakukan pada kampung-kampung yang sebagian besar penduduknya telah memeluk Islam sehingga terjadi semacam perebutan anggota jamaah antara kedua agama tersebut.
Walaupun dengan semangat yang luar biasa, untuk menyebarkan Kristen di bumi Halmahera namun hasilnya tidak maksimal, ini diakibatkan ada kendala tiga pemimpin Islam yang tangguh di saat itu. Di Galela, Imam Haji Muhammad Amal, di Morotai Imam Haji Umar Djamaa, dan di Tobelo Haji Abdullah Hoatseng. Ketiga tokoh ini mampu menghalangi laju penyebaran Kristen dan dengan organisasi Muhammadiyah yang getol dengan dakwahnya cukup memberikan kontribusi dalam upaya menghambat Kristenisasi di Halmahera Utara.
Tahun 1942, Jepang mulai mendarat di Indonesia para Evangelis Belanda dari UZG itu menjadi tawanan perang, dan sejak itu pula UZG menghentikan kegiatanya. Tugas mereka seluruhnya diambil alih oleh GMIH (Gereja Masehi Injili Halmahera) yang berpusat di Tobelo yang merupakan wadah tunggal Kristen di Halmahera Utara, khusunya di Galela dan Tobelo.

IV. Konflik Di Halmahera Utara
Dalam prespektif sejarah dan cerita-cerita rakyat tradisional tercatat bahwa sultan yang memerintah keempat kerajaaan di Maluku Utara berasal dari satu keturunan yaitu Djafar Sedik. Namun bukan berarti, dengan satu keturunan maka tercipta keharmonisan diantara keempat kesultan tersebut. Hal ini bisa direkam dalam sejarah bahwa dimasa Kolano Cico atau Mashur Malamo (1257) usai era Momole, sudah ada perseturuan laten antar klen raja baik di internal kerajaan maupun antar kerajaan. Hal ini di akui juga oleh Niadah yakni juru tulis kesultanan Ternate juga sudah mengungkapkan benih-benih perpecahan itu. Konflik tersebut terus berlanjut hingga dimasa Kolano Sidang Arif Malamo menjadi raja di Ternate (1322-1331). Beliau kemudian merumuskan satu bentuk konfederasi guna menyatukan kembali ikatan kekeluargaan diantara keempat kesultanan tersebut. Kolano Arif Malamo kemudian mengundang para Raja-Raja di Maluku Utara, minus Raja Loloda karna terlambat dan dalam konfrensi tersebut lahirlah kesepakatan untuk memperteguh persatuan keempat ke-kolano-an guna melawan serangan fisik maupun non fisik yang datang dari luar, selain itu, disepakati pula penetapkan tugas dan fungsi dari masing-masing ke-kolano-an tersebut yang dalam hal ini Jailolo diakui sebagai kerajaan pertama dari tiga kerajaan lain dalam hal senyoritas. Namun kesepakatan tersebut tidak mengakhiri ambisi politik ekspansi Ternate untuk menyerang Jailolo. Penyerangan ini kemudian membatalkan seluruh kesepakatan yang telah disepakatai bersama. Namun di lain pihak persekutuan ini telah menghasilkan sesuatu yang fundamental, yakni ikatan cultural masyarkat maluku utara dan dari ikatan ini kemudian terbagun rasa persaudaraan diantara masyarakat Maluku Utara.
Bangunan kedamaain yang telah terbangun tersebut kemudian dirusak secara paksa oleh bangsa Portugis dan Spanyol yang hadir di Maluku Utara di Abad ke XVI dengan membonceng misi penyebaran agama Kresten di negeri Maluku Kie Raha. Sistim politik monopoli inilah kemudian melahirkan perlawanan dari kalangan kesultanan, namun perlawanan ini melemah akibat politik adu domba yang di lancarkan oleh bangsa Portugis. Sehingga terjadilah perpecahan ditubuh empat kesultanan. Untuk melihat kembali dalam catanan sejarah perlawanan rakyat Maluku Utara yang beragama Islam melawan bangsa Portogis yang nota bene beragama Kresten seperti dilakukan oleh Sultan Babullah dengan menyatukan seluruh kesultanan di Maluku Utara dengan semboyan “perang suci” dan inilah telah memunculkan benih-benih konflik agama. Perlawanan yang dilakukan oleh Sultan Babullah tersebut kemudian mampu mengusir bangsa Portugis dari Ternate ketika terjadi pengepungan selama lima tahun dibenteng Nostra Senhora del Rosario. Kepergian bangsa Portugis kemudian di susul oleh Spanyol dua tahun kemudian. Namun bukan berarti telah berakhir untaian kolonialisme di bumi Maluku Kie Raha, karna setelah keluarlah Spayol maka datanganlah Belanda pada tahun 1607 di bawah pimpinan Cornelis Matelief de Jonge sebagai sebuah babak lain dari kekuasaan Barat telah dimulai. Belanda yang juga menyebarkan agama Kresten Protestan di seantero Maluku Utara dengan paksa, mulailah perlawanan fisik yang bukan saja untuk mempertahankan kedaulatan-kedaulatan kerajaan Islam di Maluku Utara tetapi juga mempertahankan aqidah agamanya.
Katika anjuran Sultan Ternate agar masyarakat Tobelo meninggalkan Telaga Lina dipedalaman Halmahera Utara untuk bermukim di kawasan pesisir. Namun sebagian besar masyarakat Tobelo menolak menganut Islam karna agama nenek moyang yakni animisme telah tertanam kuat dalam keyakinan mereka, sehingga kepercayaan ini tidak bisa di gantikan dengan kepercayaan yang lain dalam waktu relatif singkat. Konflik antar agama yakni Islam dan Kresten di Halmahera Utara yakni di Tobelo terjadi pada pertengahan tahun 1536. Konflik ini berawal ketika perebutan hegemoni antara elite Ternate, Tidore, Portugis dan Jailolo. penyerangan ini berakibat pada hancurnya desa Mamuya (di tahun 1999 Mamuya juga menjadi sasaran konflik) yang menjadi sentral penyerangan, namun dengan semakin memanasnya konflik tersebut kemudian kepercayaan Masyarakat Mamuya beralih masuk kedalam Corpus Christianum sebagai ummat Kresten.
Konflik secara etimologis, berasal dari kata Latin, configure yang berarti saling memukul. Namun secara sosilogis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana sala satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkanya atau membuatnya tidak berdaya. Dengan masuknya komunitas Mamuya ke dalam agama Kresten maka Mamuya dalam konteks historis tercatat sebagai ummat Kresten pertama di tanah Maluku Kie Raha. Perpidahan agama komunitas desa Mamuya ini tentunya menimbulkan peringatan bagi kesultanan Tidore yang bersekutu dengan Spayol melawan kesultana Ternate –Purtugal. Perpindaha agama pada waktu itu dipandang sebagai perpindahan kebangsaan sekaligus loyalitas politik. Maka, pasukan gabungan raja Katarabumi dan Tidore membakar habis desa Mamuya. Pemimpinya yang telah mendapat gelar bangsawan Portugis Don Joao itu ditangkap dan diadili di Tidore. Kebijakan ini kemudian menyebabkan kerusuhan yang merambat ke seluruh kawasan Halmahera Utara.
Dengan demikian ada keterikatan historis konflik di Halmahera Utara yang terjadi pada bulan Agustus 1999 dengan konflik pada masa kolonialisme. Konflik 1999 di Halmahera Utara, berawal dari pertikaian antara suku Kao dengan suku Makian yang mendiami tanah Malifut yang mayoritas merupakan pendatang dari Pulau Makian dan beragama Islam. Pertikaian ini berkaitan dengan berbagai faktor, yakni politik, ekonomi dan sosial budaya. Pada gelombang pertama jumlah korban jiwa dan harta benda hanya dalam hitungan puluhan. Pertikaian ini terus berlanjut akibat dari penangan konflik yang dilakukan pemerintah tidak efektif, dimana bukan substansi permasalahan yang disentuh melainkan faktor kulitnya yang disentuh sehingga dendam akibat dari konflik pertama tersebut menimbulkan pertikaian lanjutan pada bulan Oktober-November 1999 dan skalah kerugian harta milik dan fasilitas-fasilitas publik dan bangunan jahu melebihi kerugian yang terjadi pada bulan agustus 1999. dan yang paling ironisnya lagi pada konflik gelombangn ke dua ini kurang lebih 16 desa suku Makian diratakan dengan tanah, sementara jumlah korban yang meninggal kurang 100 orang lebih dan kebanyakan dari komunitas Islam.
Untuk mereda konflik yang terjadi ketiga Sultan yang memerintah di Maluku Utara, yakni Sultan Ternate, Sulatan Tidore dan Sultan Bacan mengambil peran aktif dalam meredakan ketegangan-ketegangan antara dua komunitas yang berperang. Namun kebijakan yang dilakukan oleh ketiga Sultan tersebut bukan menyelesaikan permasalahan malah menimbulkan konflik baru yang terjadi di Ternate yang melibatkan dua kekuatan yang sama-sama beragama Islam yakni Pasukan Adat Sultan Ternate melawan Pasukan Putih dari Ternate Selatan
Aksi kekerasan kemudian terjadi lagi di daerah Tobelo dan Galela dimana pada gelombang ketiga ini serangan-serangan dilakukan secara simultan oleh kelompok kresten terhadap desa muslim di Gahoku, Tuguliwa, Gurua, Kampung Baru, Gamsungi, Lauri, dan Popilo yang berada di Kec Tobelo serta desa Mamuya di Kec Galela. Yang menimbulkan korban jiwa kurang lebih 800 orang, dimana 200 orang diantaranya meninggal karna terbakar hidup-hidup di Mesjid Baiturrachman di desa Popilo.
Konflik lanjutan terjadi pula pada tanggal 19 Juni 2000 di desa Duma Kecematan Galela yang penyerangan dilakukan oleh mereka yang mengatasnamakan komunitas Islam terhadap masyarakat di desa Duma yang mayoritas beragama Kresten. Dalam pertikaian yang tidak seimbang ini setidaknya 215 orang meninggal dan kurang lebih 500 orang dinyatakan hilang bersamaan dengan tenggelamnya kapal Nusa Bahari yang membawa masyarakat Desa Duma untuk mengungsi.

V. Mengapa Terjadi Pertikaiana??
Dalam makalah ini penulis hanya mengulas secara singkat konflik di Halmahera Utara yang menitik beratkan pada Tragedi di Malifut guna mencari isu sentral yang melatarbelakangi konflik tersebut dengan analisis sejarah (Historis analitisc).

I. Kebijakan Pembentukan Kecematan Malifut
Dalam sejarah ummat Manusia jarang terjadi hubungan keharmonisan antara Islam dan Kresten dua agama yang sama-sama meyakini akan ke-esa-an Tuhan. Hal ini mengingatkan kita pada status Jelussalem di Palestina yang kemudian diperebutkan oleh masyarakat Palestina (Islam) dan Israel (Yahudi) yang dalam istilah sejarah yakni perang salib dan ini telah terjadi ribuan tahun silam hingga saat ini. Dalam konteks ini, perebutan wilayah agama yakni antara Islam dan Kresten di Halmahera Utara ini telah terjadi dan dicatat dalam sejarah yakni lebih dari 127 tahun sejak Missi Kresten untuk pertama kalinya berada di Tobelo. Semangat kristinisasi untuk menjadikan Halmahera Utara sebagai basis Kristen termotivasi dari tumbuh kembangnya agama Kristen pada wilayah seperti Papua, Sualwesi Utara, (terutama Manado), Ambon. Hal ini melahirkan semangat dikalangan ummat Kristiani di Halmahera Utara untuk membangun tanah Oukumene-nya. Cita-cita suci ini kemudian terhambat oleh kedatangan suku Makian akibat dari isu meletusnya gunung berapi di tahun 1975. Pemerintah menempatkan mereka di tanah kosong yang di kenal sekarang dengan nama Malifut dekat tanah genting Bobaneigo yang merupakan bagian terselatan dari Halmahera Utara. Kedatangan para pendatang ini kemudian dalam pandangan masyaraklat asli yang nota bene beragama Kristen ini merasa gerak espansi mereka ke arah Halmahera Selatan dan Tengah di sumbat.
Ada banyak hal yang menjadi faktor secara akumulatif mematangkan konflik hingga menjadi konflik terbuka. Namun dalam rentang waktu yang pendek, bila dikatang bahwa konflik ini dimulai dengan adanya gagasan pembentukan kecematan Malifut yang kemudian disahkan dalam sebuah Peraturan Pemerintah (PP). Setidaknya keluarnya PP tersebut menjadi trigger (pemicu) terjadinya konflik di wilayah ini. Dengan PP Nomor 42 Tahun 1999 tentang pembentukan dan penataan beberapa kecematan di wilaya kabupaten Tingkat II Maluku Utara pada bulan Mei 1999. dan keluarnya PP tersebut satu bulan menjelang pemungutan suara yang juga dekat dengan masa kampanye pertama di era reformasi dan masa ini sangat riskan terhadap konflik.
Ditengah tantangan besar seperti itu, pemerintah sangat antusias melakukan pemekaran wilayah. Dua wilayah yang berhasil di mekarkan yakni Propinsi Gorontalo (Pecahan dari Sulawesi Utara) dan Propinsi Maluku Utara (Pecahan dari Propinsi Maluku). Adalah dugaan kuat bahwa pemekaran wilayah ini tidak jauh dari upaya memperkuat kekuatan (melalui Fraksi utusan Daerah di MPR) untuk mempertahankan rezim orde baru. namun pemekaran itu memuat tuntutan dari daerah yang telah bosan dengan hegemoni pemerintah pusat. Itu sebabnya sangat mengejutkan masyarakat ketika pemerintah mengeluarkan PP tentang pembentukan kecmatan Malifut yang akhirnya menimbulkan konflik diantara Masyarakat Kao dan Malifut.
Untuk memenuhi syarat pemekaran, yakni luas daerah maupun jumlah penduduk dalam satu kecematan, kebijakan pembentukan kecematan Malifut dengan digabungkanya kelima desa (Desa Sosol, Wangeotak, Gayap, Balisosang dan Tabobo) yang secara kultur masuk dalam wilayah Kao (mayoritas beragama kresten), namun kenyataanya, orang-orang Kao diluar maupun didalam kelima desa tersebut tidak bersediah dan sangat keberatan untuk digabungkan kedalam wilayah Makian Malifut (mayoritas Islam). Keberatan ini berdasar menurut adat mereka bahwa kelima desa tersebut terikat dalam satu sumpah leluhur yang bernaung dalam satu ikatan suku/soa (suku Pagu, Boeng, Modole, dan Kao) dan jika mereka tidak mematuhi janji tersebut maka mereka kena Katula atau Kualat (jadi kodok dan Monyet) dari sumpah adat Sultan Babullah yang melarang mereka untuk saling berpisah. Hanya karna Sejarah.
Selain lima desa tersebut, ada enam desa lainya di kecematan Jailolo Halmahera Barat juga tidak bersediah bergabung dengan kecematan baru tersebut. Keenam desa tersebut yakni Desa Akelamo Kao, Bobaneigo, Dodinga, Akesahu, Dum-Dum Pantai dan Pasir Putih.
Pada bulan Agustus 1999 PP Nomor 42 telah menjadi pemicu konflik yang setidaknya menewaskan 20 orang dan merusak 100 bangunan rumah dan sarana umum, namun tidak ada upaya dari pemerintah untuk menyelesaikan akar permasahalanya, misalnya masyarakat Kao mengehendaki agar PP tersebut dihapuskan sedangkan masyarakat Malifut mengendaki PP diberlakukan. Pemerintah mempunyai wewenang, namun terkesan mengabaikan permasalaha tersebut. Hingga sejauh ini tidak ada kejelasan apakah PP nomor 42 itu berlaku meskipun kecematan Malifut tetap berjalan atau tidak berlaku atau ada pilihan dengan melakukan revisi atas PP tersebut yang mengakomudir kepentingan kedua pihak untuk mencegah konflik yang berkelanjutan. Apalagi saat ini terjadi tarik menarik antara Pemerintah Daerah (Pemda) Halmahera Utara dengan Pemda Halmahera Barat mengenai status enam desa (Akelamo Kao, Bobaneigo, Dodinga, Akesahu, Dum-Dum Pantai, dan Pasir Putih) dimana secara de jure masuk dalam PP Nomor 42 di Halmahera Utara tapi secara de fakto dalam pelayanan masyarakat enam desa cenderung ke Halmahera Barat.
II. Faktor Sumber Daya Alam (SDA)
Kesenjangan sosial-ekonomi antara kedua kelompok yang tumpah-tindih dengan batas-batas sentimen agama dan suku ini kemudian diperpara dengan ditemukan dan diesportirnya tambang emas di wilayah Malifut. Hal ini kemudian menjadi sumber sengketa diantara kedua suku tersebut. Potensi sumber daya alam yang melimpah di Halmahera Utara selain sebagai anugrah juga sebagai petaka, dalam hal tambang Gosowong Halmahera PT Nusa Halmahera Minerals (PT.NHM) merupakan kerja sama New Crest Austraila Holding Pte LTD (New Crest) 82,5 % dan PT Aneka Tambang (Persero) 17,5 %. Kontra karya antara pemerintah RI dan PT NHM di tandatangani pada tanggal 28 April 1997. persetujuan kontrak karya berdasarkan keputusan Presiden RI Nomor B 143 / Press/ 3/ 1997 tertanggal 17 Maret 1997. luas wilayah kontrak karya pada waktu ditandatangani adalah 1.6772.967 Ha, kemudian dilakukan tiga kali penciutan luas wilayah hingga saat ini luas wilayah yang terdapat dalam kontra karya PT NHM adalah 29.622 Ha. Hingga saat ini hasil kegiatan eksporasi telah ditemukan cadangan layak tambang (terakumulasi) sebesar 3.500.000 Oz emas (Gosowong, Taguraci, dan Kencana I) dengan pembiyayaan untuk ekspoitasi di tingkatkan menjadi U$D 50.000.000.00 sampai akhir 2010 seluruh arel di bagi menjadi 9 blok prespektif.
Aktivitas pengelolahan emas dilakukan diwilayah sekitar pertengahan antara Halmahera Utara dan Halmahera Barat yakni di Malifut. Perusahan ini mulai beroprasi pada tahun 1997 untuk mengespoitasi emas dikawasan gosowong. Disisi lain daerah ini dikleim oleh masyarakat Kao sebagai salah satu dari wilayah Soa Pagu. Dengan adanya tambang inilah kemudian mulai membuat manusia lupa akan kebenaran. Konsesi tambang di bumi Malifut dan Kao bagai menjadi bara dalam sekam yang dimulai dengan kontak kecil-kecilan antara warga Kao dan Malifut seperti rekrutmen tenaga kerja yang tidak adil (terlalu banyak menerima tenaga kerja asal Makian Malifut dibanding dengan Kao) sampai dengan antar jemput karyawan hingga sering terjadi kontak fisik antara para pekerja (Kao Malifut) dan menimbulkan dendam.
Pada pertengahan tahun 1999 keluarlah sebuah pelaturan yang memicu pro kontra di kedua komunitas menyebabkan 20 orang tenaga kerja baik Kao dan Malifut di PHK dan pada bulan Oktober 1999, karna pihak perusahan tidak mau mengambil resiko karna konflik kemudian pihak perusahan memutuskan untuk mengambil tenaga yang berasal dari luar daerah Maluku Utara.
Dengan potensi yang dimiliki selain tambang emas, ada juga pengelolahan jenis pisang celvandis oleh PT.GAI (Global agronusa Industri) perusahan yang berkedudukan di Galela itu juga mengespor pisang ke mancanegara dalam jumlah yang besar. Sementara di Morotai, terdapat pabrik pengalengan ikan untuk diekspor. Morotai juga dikenal sejak perang dunia I mempunyai 7 buah landasan pacu pesawat standar internasional peninggalan sekutu. Karna dengan potensi tersebut maka akan mengdokrak pendapatan asli daerah. Menurut Tamrin Amal Tomagola, kesenjangan sosial ekonomi antara kedua suku tersebut, bertumpang tindih dengan batas-batas sentimen agama yang diperpara dengan kehadiran tambang emas NHM. Sehingga dengan potensi ekonomi tersebut kemudian melahirkan Ide Suci untuk menjadikan Halmahera Utara sebagai Israel kedua dan Tobelo sebagai Kota Kristen. Karna dengan SDA yang di miliki oleh Halmahera Utara, maka pihak Kresten akan dengan mudah membangun daerah tersebut menjadi satu kawasan kresten yang sangat maju. Perebutan wilayah agama inilah yang menjadi tujuan dari gerakan tersebut.

III. Status Tanah Ulayat
Dalam empat kerajaan di Maluku Utara masing-masing memiliki gelar seperti Ternate sebagai alam makolano, Tidore sebagai Kie Makolano, Bacan sebagai Jiko Makolano dan Jailolo sebagai Dehe Makolano. Tapi paling berpengaruh adalah Ternate dan Tidore dimana kedua kerajaan ini memiliki pengaruh yang sangat besar. Kakuasaan kerajaan Ternate meliputi Sidangoli, Dodinga, Bobaneigo, dan seluuruh Halmahera Utara (Malifut, Kao, Tobelo dan Galela) hingga ke Barat sampai di Sulawesi, Mindanao, Gorontalo, sampai Nusa Tenggara Timur. Dan kekuasaan Tidore mulai dari Bobaneigo kesebalah pulau Halmahera sampai ke Papua dan Raja Empat. Gambaran wilayah kekuasaan Ternate dan Tidore inilah yang kemudian menjadi sebuah alasan kuat dari suku Kao bahwa tanah Malifut adalah tanah adat Sultan Ternate sampai saat ini dan Masyarakat Makian tidak berhak untuk mendiami wilayah tersebut.
Ketika kehadiran Suku Makian di Malifut, suku Kao banyak belajar tentang peradaban Makian, peradaban moderen sederhana itu adalah fasilitas Mandi Cuci Kakus (MCK) juga penguasaan lahan sebagai perkebunan kelapa yang dilandasi dengan ketekunan dan kegigihan dalam bekerja. Dan ini sangat berbada dari masyarakat Kao yang hanya puas dengan pemenuhan sederhana kehidupan sehari-hari. Hal ini sangat jelas terlihat dari tingkat pendidikan dan berbagai komposisi birokrasi pemerintahan. Hal ini menyebabkan kesenjangan dan kecemburuan pada suku Kao. Apalagi banyak program dan dana pemerintah untuk pembangunan Malifut. Perasaan suku Kao mungkin dapat dijelaskan dengan pendapat Paul Sites tentang konflik akibat upaya pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Memang pola produksi (Mode of production) antara Kao dan Malifut memiliki perbedaan dan inilah yang menyebabkan Kao sebagai Tuan rumah merasa dipinggirkan.
Kecemburuan sosial oleh Masyarakat Kao tersebut pada akhirnya menimbulkan gugatan kultur yang berbasis etnohistorisme sebagai pemilik tanah adat sekaligus penghuni kesatuan suku asli (Sagu, Pagu, Boeng, Kao dan Modole) dan gugatan cultur inilah yang kemudian menimbulkan konflik antara suku Kao yang mayoritas Kresten dan suku Makian yang ada di Malifut yang mayoritas Islam.

VI. Apa Faktor Utama Konflik Halmahera Utara 1999?
Menurut Chris Mitchell, setiap konflik yang terjadi akibat dari hubungan antara kedua pihak atau lebih baik individu maupun kelompok yang memiliki sasaran dan tujuan yang tidak sejalan. Perbedaan visi inilah kemudian melahirkan kekerasan fisik maupun non fisik diantara kedua pihak.
Dengan berbagai catatan sejarah diatas maka bisa di tarik benang merah bahwa sumber utama konflik di Halmahera Utara 1999 adalah akibat perebutan wilayah agama. Namun isu agama seakan dibungkus secara rapi dengan berbagai macam isu, seperti kebijakan pembentukan Kecematan Malifut, isu perebutan kursi gubernur, isu perebutan sumber daya alam, isu penempatan ibu kota propinsi dan masih banyak lagi isu yang berkembang sehingga menjadi diagnosa analisis untuk memahami akar penyebab konflik tersebut. Namun perebutan wilayah agama adalah isu sentral dan ini menjadi target akhir dari gerakan tersebut. Semangat untuk menjadikan Halmahera Utara sebagai basis gerakan sudah terbangun ribuan tahun silam dimana kedua agama (Islam-Kristen) ini saling berlomba membangun hegemoni di tanah daratan tersebut. Fenomena inilah yang menjadi warisan sejarah dimana tercipta masyarakat yang memiliki sikap tetap negatif, emosi tetap tinggi, membedakan antara satu dengan yang lain dengan latar belakan agama yang dikedepankan. Dengan faktor ini, kemudian tidak tercipta keharmonisan diantara kedua agama tersebut. Ketidakharmonisan ini kemudian menjadi lahan subur munculnya konflik agama.


























VII. Kesimpulan
Setiap konflik yang terjadi kalah menang seakan tidak berarti, ini dikarenakan kedua pihak mendapatkan kerugian yang sama. Dalam konteks ini, konflik yang terjadi di berbagai daerah dengan beragam sebab dan khususnya di Halmahera Utara yang diawali di Malifut yang meninggalkan beban sosial yang sangat memberatkan, seharusnya menjadi bahan refleksi agar tidak terulang kembali. Setiap peristiwa yang terjadi dalah kehidupan manusia baik bersifat makro maupun mikro memiliki hikmah yang cukup besar. Maka dari itu masa lalu Halmahera Utara dimana wilayah ini sempat menjadi wilayah rebutan antara berbagai kerajaan dan agama karna letak geeografisnya yang sangat strategis, dan potensi alamnya, dan ini adalah potensi yang sangat bernilai untuk pembangunan kedepan, dan bukan dengan masa lalu kita menciptakan identitas baru yang conderung merugikan orang lain. Karna perbedaan Agama, adalah rahmat Tuhan yang harus dijadikan sebagai modal pembangunan suatu daerah.
Berbagai permasalahan yang telah mendukung terjadinya konflik di Halmahera Utara seperti permasalahan PP Nomor 42 Tahun 1999, Status tanah ulayat, perebutan sumber daya alam, dan berbagai isu pendukung lainya harus diselesaikan secara arif dan bijaksana, sehinga tidak ada yang merasa dirugikan. Begitu juga tokoh-tokoh kunci dari konflik tersebut yang menginginkan wilayah Halmahera Utara harus menjadi basis sala satu agama juga harus membatalkan cita-cita tersebut, agar bersama pemerintah membangun Halmahera Utara karna dengan otonomi daerah maka menjadi sebuah peluang untuk setiap generasi bangsa memajukan daerahnya dengan bermodalkan pada potensi daerah yakni SDA, SDM, dan yang lebih penting adalah potensi sejarah dan Budayanya.
Halmahera Utara adalah sebuah kabupaten di propimsi Maluku Utara yang memiliki potensi pembanguan baik Sumber Daya Alam, Sumber daya Manusia dan potensi Sejarahnya sangat berlimpah dan ini adalah modal utama pembangunan dan jika di kelolah secara bijak maka visi Halmahera Utara untuk Go Internasional berhasil dengan baik, maka yang harus dilakukan dan yang paling penting adalah bagaimana pemerintah daerah bersama masyarakat menciptakan keharmonisan di daerah tersebut. karna pembangunan yang diskriminatif yang dikontrol oleh golongan tertentu demi kemajuan dan kesejatraan golongannya sendiri adalah sebuah bentuk dosa pembangunan yang tidak sesuai dengan nilai Bhineka Tunggal Ika (Berbeda-beda tetap satu) dan jika semangat golongan, agama tetap di kedepankan maka roh Hibualamo (rumah besar) sebagai filsafat hidup Masyarakat Halmahera Utara yang berarti menampung seluruh agama, ras dan golongan tidak akan tercapai.

VIII. Saran
Ada beberapa langkah yang harus dilakukan agar konflik tersebut jangan terulang lagi. Ini dikarenakan saat ini kondisi kehidupan Masyarakat Maluku Utara pada umumnya dan lebih khususnya masyarakat Halmahera Utara terlihat relatif kondusif, tetapi bila di cermati secara mendalam masih tersisa luka sosial dan psykologis yang diderita masyarakat. Untuk menghilangkan secara totalitas seluruh dendam maka di butuhkan langkah rehabilitasi melalui perlakuan yang bijak dan komprehensif, integral serta terpadu dari seluruh elemen bangsa yang ada.
a. Para tokoh agama harus berperan dalam memulihkan kondisi dengan meningkatkan pemahaman dan penghayatan terhadap agama yang dipeluknya dan mengajak ummatnya untuk bisa memahami keberadaan agama lain serta para pengikutnya, selain itu membangun toleransi dan kerukunan yang tinggi antar ummat beragama Karna hal ini bisa menciptakan kembali keharmonisan diantara kedua agama tersebut.
b. Para tokoh agama bersama pemerintah harus berusaha membentuk kepribadian yang menjunjung tinggi nilai moral di kalangan generasi muda sehingga terhindar dari minuman keras dan narkoba.
c. Pemerintah melalui pemerintah daerah, peguruan tinggi, dan berbagai LSM yeng bergerak di bidang sosial budaya melaksanakan dialog antar ummat beragama, mengajak masyarakat untuk memilihara budaya lokal, menciptakan suasana yang menjadi pelajaran pendidikan budaya kepada masyarakat sehingga melahirkan kesadaran budaya bahwa perbedaan agama adalah rahmat Tuhan (keniscayaan) yang harus di hargai.
d. Pemerintah harus melakukan pemerataan pembangunan agar tidak melahirkan kecemburuan sosial dalam masyarakat.
e. Penegakan hukum harus dikedepankan oleh pihak yang berwajib demi tercipatanya keamanan dan ketertiban di Halmahera Utara
DAFTAR PUSTAKA



Muhammad, Syahril. 2006. Konflik Sosial Maluku Utara Studi Sosio-Historis (Makalah). Bandung : UPI
Muhammad, Syahril dan Umi Barjiyah. 2006. Persepsi Masyarakat Terhadap Netralisasi Militer dalam Konflik Sosial di Maluku Utara (Laporan Penilitian Dosen Muda). Ternate: Unkhair
Ruray, Saiful B. 2000. “Tragedi di Halmahera antara Bosnia dan Popilo” (Dalam Kasman Ahmad dan Herman Oesman, Damai yang Terkoyak Catatan di Bumi Halmahera). Ternate : Podium dan Madani Press
Sitohang, Hendry H. 2003. Menuju Rekonsiliasi di Halmahera. Jakarta: PPRP
Trytmoko, Mardiyanto Wahyu. 2005. “Masyarakat Indonesia” Majalah Ilmu Sosial Indonesia. Jakarta : LIPI
Yusuf, Sry Yanuarty. 2004. Konflik Maluku Utara Penyebab dan Penyelesaian Jangka Panjang. Jakarta : LIPI
Yusuf, Jainul. 2007. Konflik Sosial di Malifut 1999-2005 : Studi Sosio-Historis. (Skripsi) Ternate : Unkhair


Http/www.NHM.co.id akses 13 Maret 2009