Senin, 21 Juni 2010

RUNTUHNYA NASIONALISME

Oleh : Azwar Abdullah

Ketika ada kleim dari Pemerintah Malesya bahwa Rasa Sayang e dari Maluku dan Tari Pendet dari Bali adalah milik kebuyaan mereka, hanya masyarakat Maluku dan Masyarakat Bali yang marah, sedangkan daerah lain hanya sebagai penenton, ketika sidang di masa Agung Laksono sebagai ketua DPR lupa menyayikan Lagu Indonesia Raya, ketika di tanya ke sebagian mahasiswa siapa yang membaca teks proklamasi mereka tidak tahu, ketika di perintah menghafal pancasila dan UUD 1945 sebagian besar generasi muda tidak tahu juga, bahkan akhir-akhir ini ada acara di sala satu stasiun nasional yang menayangkan acara Kuis yang pertanyaanya seputar sejarah hidup Barak Obama (Presiden Amarika), di daerah manteng pemerintah membuat patung Barak Obama, di Maluku Utara ketika hari jadi Kota ternate, pemerinta mensosialisasikan Wallace seorang peniliti dan misonaris di masa penjajahan ke masyarakat, karna pemerintah merasa bahwa dengan agenda ini maka Ternate akan di kenal di mat dunia, padahal mereka lupa bahwa ada pahlawan yang di lupakan oleh Masyarakat Maluku Utara bahkan Indonesia yakni Sultan Babullah yang perna berjunang mengsur portugis dari Maluku Utara, dan sebagai penguasa 92 pulau sampai ke Mindanao Filipina,selain itu ada tokoh bangsa yang di lupakan oleh masyarakat indonesia yakni Soekarno dan Tan Malaka dan tokoh-tokoh bangsa yang lain yang perna berjuang untuk kemerdekaan indonesia,padahal dalam kondisi bangsa yang lagi sekarat ini, kita membutuhkan spirit masa lalu, bukan spirit masa kini, karena sebagian besar generasi muda bahkan generasi tua suda terjerat dosa-dosa politik sehingga mereka tiodak bisa di anggap sebagai pemimpin bangsa,selain itu juga,saat ini nilai-nilai pancasila tidak mampu di realisasikan dalam kehidupan masyarakat, korupsi tumbuh subur di negeri ini, kasus bang centuri belum selesai, disusul dengan usulan Dana Aspirasi, negara ini akan menjadi kampung maling...generasi muda yang katanya sebagai agen perubahan berubah menjadi maling berdasi. hal ini dikarenakan sebagian besar generasi muda cepat menua politik, sehingga semangat revolusioner belum menyatu secarat total dalam siri mereka, selain masyarakat, pihak pemerintah pun menjadikan pancasila hanya sekedar kata tampa arti, sehingga sebagian besar kebijakan pemerintah tidak sejalan dengan semangat pancasila dan UUD 1945. kita kehilangan jati diri bangsa....

sampai kapan negara ini bisa menjadi sebuah negara yang berdikari seperti cita-cita Soekarno..?indonesia sekarang adalah sebuah negera yang hidupnya sangat bergantung pada negara luar,padahal kita memiliki potensi SDA dan SDM. isu integrasi bangsa akan terus di hembuskan selama tidak ada keadailan di negeri ini...Pribumisasi nilai-nilai Pancasila adalah pilihan sejarah.....

KONFLIK HORIZONTAL DI HALMAHERA UTARA-MALUKU UTARA 1999 (Suatu Tinjauan Sosio-Historis)

KONFLIK HARIZONTAL
DI HALMAHERA UTARA-MALUKU UTARA 1999
(Suatu Tinjauan Sosio-Historis)

Oleh : Ajuar Abdullah


I. Pengantar

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang pluralistik, ini dilihat dari terdapat berbagai etnis, suku dan agama. Keberagaman ini merupakan potensi yang sangat bernilai yang dapat memberikan kontribusi dalam mewujudkan pembangunan nasional. Namun disisi lain, keberagaman jika tidak di kelolah secara maksimal maka akan menjadi potensi konflik yang bersifat horisontal dengan berbagai permasalahan yang sangat kompleks.
Realitas saat ini dimana Indonesia yang dalam memasuki era melenium ketiga di abad 21 diwarnai oleh berbagai konflik di daerah mulai dari Aceh, Kalimantan Tengah, Yogyakarta, Maluku, hingga Papua. Sehingga harapan kita yakni keberagaman budaya yang seharusnya menjadi bagian kebangsaan kini menjadi batu sandungan yang amat riskan untuk kemajuan bangsa. Konflik yang terus terjadi di daerah dengan skala yang berbeda ini dan tidak kunjung selesai dikarenakan cara penyelesaian konflik yang dilakukan oleh Pemerintah tidak efektif, dimana substansi permasalahnya tidak di sentuh. Selain itu, tragedi di Halmahera Utara 1999 juga seharusnya dijadikan sebagai catatan kritis untuk melihat masa depan negara ini karena jika konflik terus terjadi maka peluang untuk melahirkan disintegrasi bangsa semakin besar. Karna faktor yang mempengaruhi konflik sangat beragam yakni menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia seperti ideologi politik, agama, ekonomi, dan sosial budaya.
Namun jika kita menyelusuri akar sejarah tentang awal-mula terjadinya konflik di Maluku Utara, maka berawal di era Lodewijk de Bortomo tercatat sebagai pelaut Portugis pertama yang tiba di Maluku Utara pada 1506 yang disusul kemudian oleh Fransisco Serrao yang tercacat sebagai orang Eropa pertama yang menetap di Ternate. Konflik awal ini kita lihat pada pertempuran di jazirah Leihitu, Ambon yang melibatkan pasukan kerajaan Gowa dan Ternate yang Islam melawan pasukan Portugis yang Katolik dengan dibantu oleh penduduk Ambon yang Kristen adalah catatan konflik kolonial pertama di bumi Nusantara. Konflik ini pun berlanjut hingga datanganya bangsa Belanda. Pertempuran Kapaha- Ambon misalnya adalah catatan buruk bagi reputasi pasukan VOC di Indonesia. Dalam konteks historis inilah kemudian konflik yang terjadi di Maluku Utara saat ini tidak terlepas dengan pengaruh hegemoni bangsa asing yang telah terbangun ribuan tahun silam.
Jika kita mengamati kembali perkembangan pertikaian berdarah di Maluku Utara dan Ambon di tahun 1999 ada kesamaan isu yang dibangun pada permulaan pertikaian tersebut yakni isu suku. Tragedi berdarah tersebut menyebabkan ribuan orang meninggal dan luka parah serta penderitaan sosial dan psykologis akibat kehilangan sanak keluarga dan hidup di tanah pengungsian. Maka untuk menelaah lebih jauh mengenai konflik horisontal di Maluku Utara dibutuhkan segenap pemikiran kritis guna melacak akar konflik tersebut. Ini dikarenakan hingga kini sebagian besar peneliti dan penulis terhipnotis dengan isu yang muncul ke permukaan seperti kepentingan untuk merebut sumber daya alam, status tanah ulayat, pembentukan kecematan Malifut, dan perebutan kursi gubersur akibat dari pengaruh suhu politik nasional, bagi penulis isu tersebut hanyalah isu pelengkap dari satu isu utama.
Sebagai sebuah ilustrasi singkat ketika reformasi bergulir 1998, peta politik skalah nasional berubah secara dratis dan hal ini mempengaruhi kondisi politik di daerah, khusunya Maluku utara. Perubahan politk ini kemudian melahirkan kepentingan dikalangan elit lokal untuk menduduki posisi formal di daerah dengan menyuarakan pembentukan propinsi Maluku Utara. Perubahan politik yang tidak dibaringi dengan kesiapan mental masyarakat untuk berpolitik kemudian melahirkan perpecahan akibat perbedaan kepentingan tersebut. Namun dari beberapa isu di atas jika dijadikan sebagai isu utama maka kita kehilangan jejak dalam melacak akar konflik tersebut, sehingga dengan tulisan ini penulis berusaha untuk mencari faktor utama tragedi berdarah tersebut dengan paradigma sejarah sebagai pisau analisis.


II. Penyebaran Islam Di Halmahera Utara
Penyebaran Agama Islam pertama kali di Halmahera Utara dilakukan oleh kesultanan Ternate dan Tidore. Penyebaran ini dimulai ketika kepemimpinan Sultan Zainal Abidin yang telah mendalami Ilmu Islam di Sunan Ampel. Semangat Islamisasi ini kemudian dilanjutkan oleh putranya Sultan Bayanullah dengan metode penyebaranya di kalangan petinggi kesultanan sehingga dengan mudah mereka menyebarkanya kepada masyarakat luas. Ekspansi Islam kemudian sampai ke Halmahera Utara, namun tidak ada bukti tertulis yang menggambarkan tarikh masuknya agama Islam di Halmahera Utara secara tepat dan benar. Namun bisa digambarkan bahwa para pedagang, perantau, dan nelayan di pesisir pantai Halmahera yang menganut Islam pertama yang dibawakan oleh para Ulama. Hal ini akibat dari terisolasinya wilayah pedalaman dan pesisir menyebabkan proses Islamisasi terhambat, dan hingga abad ke 19 daerah pedalaman Kao, Galela, Sahu, Jailolo, dan Ibu belum tersentuh oleh Islam.
Penyebaran ini kemudian terhambat dengan kedatangan bangsa Portogis, Spayol, dan Belanda yang juga memboncengi ajaran Kristen Katolik dan Prosestan. Akibat dari politik adu domba, sehingga pihak kesultanan harus mengerahkan seluruh pikiran, tenaga dan waktu guna mempertahankan eksistensi kerajaan dan ajaran Islam.
Memasuki tahun 1900-an, ada tiga tokoh penting dalam penyebaran Islam di Halmahera Utara. Ketiga tokoh tersebut adalah, Haji Abdullah Hoatseng (1874-1970) yang menjabat Imam (Distrik = Kecematan) Tobelo, Haji Muhammad Amal (1880-1960) sebagai Imam Galela dan Haji Umar Jamaa sebagai Imam Morotai. Ketiga tokoh ini sangat berperan dalam Islamisasi di Halmahera Utara mengingat karena kondisi objektif Tobelo dimana seluruh daerah di Tobelo telah di Kristenkan oleh Zending Belanda dari Utrecht (Utrechtsche Zending Genootschap). Hanya di Tobelo Utara komunitas Muslim masih terdapat di banyak daerah yakni di Gorua, Popilo, dan Luari itu pun campuran antara Kristen dan Islam dan itu berarti seluruh kawasan Tobelo telah di Kristenkan. Namun hal ini tidak membuat Imam Haji Abdullah berkecil hati, terbukti setelah berusaha selama 20 tahun untuk mengislamkan komunitas campuran terjadi perubahan yang signifikan yakni Gamsumi, Gorua, Tolonuo, Luari dan Popilo berubah menjadi Mayoritas Islam. Selain itu Gamhoku, Imam berhasil membendung ekspansi Kresten sehingga sektor ekonomi dikuasai oleh kaum Muslim.
Memasuki tahun 1934, kesepakatan antara ketiga Imam tersebut untuk mendirikan lembaga pendidikan sebagai wadah dakwah yang ideal, yang pada tahun 1938 mereka mendirikan Muhammadiyah. Program penyebaran Islam oleh Imam di Tobelo terhadap komunitas campuran mendapat protes dari Zending. Zending mengirimkan protes kepada Sultan Ternate yakni Sultan Jabir Syah untuk menghentikan cara-cara penyebaran agama oleh Imam, dan pada tahun 1929 Imam pernah di panggil Sultan untuk klarifikasi protes Zending, setelah mendengar alasan-alasan Imam, Sultan dapat membenarkan tindakanya . Islamisasi di Galela berjalan mulus akibat dari penguasaan lahan oleh Zending hanya 2 kampung yakni Duma dan Soatabaru secara penuh. Sedangkan yang lainya Zending hanya menguasai seperdua (Soakonora, Mamuya, Seki dan Bale). Penyebaran Islam yang dilakukan oleh Imam sangat metodis yakni dengan cara Dakwah yang khas, selain secara verbal juga dengan seni membaca Al-Qur’an, seni suara hadrat bahkan dengan sandiwara.
Sejak Imam memegang kendali di Galelah, missi Zending memperoleh kendala yang ketat dan gerak majunya terhenti, walaupun zending di pimpin oleh pendeta-pendeta yang cakap seperti Van Baarda yang telah bermukim di Galela selama 32 tahun. Namun berbeda dengan perkembangan Islam di Morotai yang dilakukan oleh Imam Haji Umar Jamaa sedikit menemui kendala ini dikarenakan daerah Morotai yang sangat luas dengan keadaan geografis yang sangat sulit untuk musim-musim angin tertentu, selain itu Zending Tobelo dan Galela telah mendirikan pos-pos penyebaran Injil di Tanjung wilayah Morotai seperti Daeo, Sambiki, Sangowo dan Buso-Buso. Hal ini membuat seluruh tenaga terkuras untuk menghadapi penyebaran Injil yang dilakukan oleh Zending, namun karna selalu sabar dan didukung oleh para tokoh-tokoh Islam lainya, maka daerah Morotai menjadi mayoritas beragama Islam.

III. Penyebaran Kristen di Halmahera Utara
Masuknya agama Kresten di Halmahera Utara di awali sejak masuknya Portugis. Pada tahun 1536, Antonio Calvao menjadi walinegeri ke-7 di Ternate, ia mengirim Pastor Ferdinand Vinogre ke Mamuya. Upaya ini tidak berhasil. Konon kegagalan Vinogre selain dimusuhi rakyat, juga karna tekanan dari Sultan Jailolo. Karna berbagai kegagalan dalam Kristenisai maka Raja Muda Portogis di Goa pada tahun 1542 mendatangkan Franciscus Xaverius seorang misonaris yang sangat jenius. Dengan metode penyebaran di kalangan elit, ia berhasil mempengaruhi istri Sultan Bayanullah yang telah pisah yakni Nyai Tsyili. Setelah beberapa lama di Ternate, Xaverius melakukan perjalanan mengilingi Halmahera Utara (Morotia dan Morotai) praktis tidak membawa hasil yang memadai. Namun dengan politik pecah bela (devide et impera), kerajaan kecil menjadi sasaran gerakan tersebut dengan tujuan melemahkan kerajaan besar seperti Ternate dan Tidore. Raja Mamuya dari kerajaan kecil Morotia misalnya, dilindungi dari ancaman Kerajaan Ternate asalkan ia mau masuk Kristen. Akhirnya sang Raja tersebut beralih menganut agama Kristen demi keselamatanya. Proses penyebaran ini terus berlanjut hingga pengusiran Portugis oleh Babullah dan kedatangan Belanda. Pada tahun 1866, tiba di Galela dan Tobelo pendeta-pendeta dari Perhimpunan Zending Utrecht (Utrechtshe Zending Genootschap (UZG) ) di bawah pimpinan H.H. Bode dan Van Dijken. Mereka menetapkan Galela sebagai pusat Kristenisasi dan membangun pos-pos oprasionalnya di tempat yang dianggap penting di Halmahera Utara.
Berdasarkan bahan-bahan publikasi dan laporan-laporan pemerintah, UZG sudah mengetahi bahwa didaerah-daerah pesisir Halmahera Utara yang mereka bidik, sudah merupakan komunitas Islam. Lima tahun pertama, hasil Zending nol besar hingga kedatangan Van Baarda dalam tahun-tahun tugasnya, ia mampu menggarap kampung-kampung disekitanya. Seperti Dokumalamo dan Soatobaru mulai di Kristenkan. Dalam tahun 1905, mereka mulai membentuk pos-pos guna mengorganisir dengan cepat. Suatu hal yang sangat mencolok dari penempatan Pos-pos ialah bahwa semuahnya dilakukan pada kampung-kampung yang sebagian besar penduduknya telah memeluk Islam sehingga terjadi semacam perebutan anggota jamaah antara kedua agama tersebut.
Walaupun dengan semangat yang luar biasa, untuk menyebarkan Kristen di bumi Halmahera namun hasilnya tidak maksimal, ini diakibatkan ada kendala tiga pemimpin Islam yang tangguh di saat itu. Di Galela, Imam Haji Muhammad Amal, di Morotai Imam Haji Umar Djamaa, dan di Tobelo Haji Abdullah Hoatseng. Ketiga tokoh ini mampu menghalangi laju penyebaran Kristen dan dengan organisasi Muhammadiyah yang getol dengan dakwahnya cukup memberikan kontribusi dalam upaya menghambat Kristenisasi di Halmahera Utara.
Tahun 1942, Jepang mulai mendarat di Indonesia para Evangelis Belanda dari UZG itu menjadi tawanan perang, dan sejak itu pula UZG menghentikan kegiatanya. Tugas mereka seluruhnya diambil alih oleh GMIH (Gereja Masehi Injili Halmahera) yang berpusat di Tobelo yang merupakan wadah tunggal Kristen di Halmahera Utara, khusunya di Galela dan Tobelo.

IV. Konflik Di Halmahera Utara
Dalam prespektif sejarah dan cerita-cerita rakyat tradisional tercatat bahwa sultan yang memerintah keempat kerajaaan di Maluku Utara berasal dari satu keturunan yaitu Djafar Sedik. Namun bukan berarti, dengan satu keturunan maka tercipta keharmonisan diantara keempat kesultan tersebut. Hal ini bisa direkam dalam sejarah bahwa dimasa Kolano Cico atau Mashur Malamo (1257) usai era Momole, sudah ada perseturuan laten antar klen raja baik di internal kerajaan maupun antar kerajaan. Hal ini di akui juga oleh Niadah yakni juru tulis kesultanan Ternate juga sudah mengungkapkan benih-benih perpecahan itu. Konflik tersebut terus berlanjut hingga dimasa Kolano Sidang Arif Malamo menjadi raja di Ternate (1322-1331). Beliau kemudian merumuskan satu bentuk konfederasi guna menyatukan kembali ikatan kekeluargaan diantara keempat kesultanan tersebut. Kolano Arif Malamo kemudian mengundang para Raja-Raja di Maluku Utara, minus Raja Loloda karna terlambat dan dalam konfrensi tersebut lahirlah kesepakatan untuk memperteguh persatuan keempat ke-kolano-an guna melawan serangan fisik maupun non fisik yang datang dari luar, selain itu, disepakati pula penetapkan tugas dan fungsi dari masing-masing ke-kolano-an tersebut yang dalam hal ini Jailolo diakui sebagai kerajaan pertama dari tiga kerajaan lain dalam hal senyoritas. Namun kesepakatan tersebut tidak mengakhiri ambisi politik ekspansi Ternate untuk menyerang Jailolo. Penyerangan ini kemudian membatalkan seluruh kesepakatan yang telah disepakatai bersama. Namun di lain pihak persekutuan ini telah menghasilkan sesuatu yang fundamental, yakni ikatan cultural masyarkat maluku utara dan dari ikatan ini kemudian terbagun rasa persaudaraan diantara masyarakat Maluku Utara.
Bangunan kedamaain yang telah terbangun tersebut kemudian dirusak secara paksa oleh bangsa Portugis dan Spanyol yang hadir di Maluku Utara di Abad ke XVI dengan membonceng misi penyebaran agama Kresten di negeri Maluku Kie Raha. Sistim politik monopoli inilah kemudian melahirkan perlawanan dari kalangan kesultanan, namun perlawanan ini melemah akibat politik adu domba yang di lancarkan oleh bangsa Portugis. Sehingga terjadilah perpecahan ditubuh empat kesultanan. Untuk melihat kembali dalam catanan sejarah perlawanan rakyat Maluku Utara yang beragama Islam melawan bangsa Portogis yang nota bene beragama Kresten seperti dilakukan oleh Sultan Babullah dengan menyatukan seluruh kesultanan di Maluku Utara dengan semboyan “perang suci” dan inilah telah memunculkan benih-benih konflik agama. Perlawanan yang dilakukan oleh Sultan Babullah tersebut kemudian mampu mengusir bangsa Portugis dari Ternate ketika terjadi pengepungan selama lima tahun dibenteng Nostra Senhora del Rosario. Kepergian bangsa Portugis kemudian di susul oleh Spanyol dua tahun kemudian. Namun bukan berarti telah berakhir untaian kolonialisme di bumi Maluku Kie Raha, karna setelah keluarlah Spayol maka datanganlah Belanda pada tahun 1607 di bawah pimpinan Cornelis Matelief de Jonge sebagai sebuah babak lain dari kekuasaan Barat telah dimulai. Belanda yang juga menyebarkan agama Kresten Protestan di seantero Maluku Utara dengan paksa, mulailah perlawanan fisik yang bukan saja untuk mempertahankan kedaulatan-kedaulatan kerajaan Islam di Maluku Utara tetapi juga mempertahankan aqidah agamanya.
Katika anjuran Sultan Ternate agar masyarakat Tobelo meninggalkan Telaga Lina dipedalaman Halmahera Utara untuk bermukim di kawasan pesisir. Namun sebagian besar masyarakat Tobelo menolak menganut Islam karna agama nenek moyang yakni animisme telah tertanam kuat dalam keyakinan mereka, sehingga kepercayaan ini tidak bisa di gantikan dengan kepercayaan yang lain dalam waktu relatif singkat. Konflik antar agama yakni Islam dan Kresten di Halmahera Utara yakni di Tobelo terjadi pada pertengahan tahun 1536. Konflik ini berawal ketika perebutan hegemoni antara elite Ternate, Tidore, Portugis dan Jailolo. penyerangan ini berakibat pada hancurnya desa Mamuya (di tahun 1999 Mamuya juga menjadi sasaran konflik) yang menjadi sentral penyerangan, namun dengan semakin memanasnya konflik tersebut kemudian kepercayaan Masyarakat Mamuya beralih masuk kedalam Corpus Christianum sebagai ummat Kresten.
Konflik secara etimologis, berasal dari kata Latin, configure yang berarti saling memukul. Namun secara sosilogis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana sala satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkanya atau membuatnya tidak berdaya. Dengan masuknya komunitas Mamuya ke dalam agama Kresten maka Mamuya dalam konteks historis tercatat sebagai ummat Kresten pertama di tanah Maluku Kie Raha. Perpidahan agama komunitas desa Mamuya ini tentunya menimbulkan peringatan bagi kesultanan Tidore yang bersekutu dengan Spayol melawan kesultana Ternate –Purtugal. Perpindaha agama pada waktu itu dipandang sebagai perpindahan kebangsaan sekaligus loyalitas politik. Maka, pasukan gabungan raja Katarabumi dan Tidore membakar habis desa Mamuya. Pemimpinya yang telah mendapat gelar bangsawan Portugis Don Joao itu ditangkap dan diadili di Tidore. Kebijakan ini kemudian menyebabkan kerusuhan yang merambat ke seluruh kawasan Halmahera Utara.
Dengan demikian ada keterikatan historis konflik di Halmahera Utara yang terjadi pada bulan Agustus 1999 dengan konflik pada masa kolonialisme. Konflik 1999 di Halmahera Utara, berawal dari pertikaian antara suku Kao dengan suku Makian yang mendiami tanah Malifut yang mayoritas merupakan pendatang dari Pulau Makian dan beragama Islam. Pertikaian ini berkaitan dengan berbagai faktor, yakni politik, ekonomi dan sosial budaya. Pada gelombang pertama jumlah korban jiwa dan harta benda hanya dalam hitungan puluhan. Pertikaian ini terus berlanjut akibat dari penangan konflik yang dilakukan pemerintah tidak efektif, dimana bukan substansi permasalahan yang disentuh melainkan faktor kulitnya yang disentuh sehingga dendam akibat dari konflik pertama tersebut menimbulkan pertikaian lanjutan pada bulan Oktober-November 1999 dan skalah kerugian harta milik dan fasilitas-fasilitas publik dan bangunan jahu melebihi kerugian yang terjadi pada bulan agustus 1999. dan yang paling ironisnya lagi pada konflik gelombangn ke dua ini kurang lebih 16 desa suku Makian diratakan dengan tanah, sementara jumlah korban yang meninggal kurang 100 orang lebih dan kebanyakan dari komunitas Islam.
Untuk mereda konflik yang terjadi ketiga Sultan yang memerintah di Maluku Utara, yakni Sultan Ternate, Sulatan Tidore dan Sultan Bacan mengambil peran aktif dalam meredakan ketegangan-ketegangan antara dua komunitas yang berperang. Namun kebijakan yang dilakukan oleh ketiga Sultan tersebut bukan menyelesaikan permasalahan malah menimbulkan konflik baru yang terjadi di Ternate yang melibatkan dua kekuatan yang sama-sama beragama Islam yakni Pasukan Adat Sultan Ternate melawan Pasukan Putih dari Ternate Selatan
Aksi kekerasan kemudian terjadi lagi di daerah Tobelo dan Galela dimana pada gelombang ketiga ini serangan-serangan dilakukan secara simultan oleh kelompok kresten terhadap desa muslim di Gahoku, Tuguliwa, Gurua, Kampung Baru, Gamsungi, Lauri, dan Popilo yang berada di Kec Tobelo serta desa Mamuya di Kec Galela. Yang menimbulkan korban jiwa kurang lebih 800 orang, dimana 200 orang diantaranya meninggal karna terbakar hidup-hidup di Mesjid Baiturrachman di desa Popilo.
Konflik lanjutan terjadi pula pada tanggal 19 Juni 2000 di desa Duma Kecematan Galela yang penyerangan dilakukan oleh mereka yang mengatasnamakan komunitas Islam terhadap masyarakat di desa Duma yang mayoritas beragama Kresten. Dalam pertikaian yang tidak seimbang ini setidaknya 215 orang meninggal dan kurang lebih 500 orang dinyatakan hilang bersamaan dengan tenggelamnya kapal Nusa Bahari yang membawa masyarakat Desa Duma untuk mengungsi.

V. Mengapa Terjadi Pertikaiana??
Dalam makalah ini penulis hanya mengulas secara singkat konflik di Halmahera Utara yang menitik beratkan pada Tragedi di Malifut guna mencari isu sentral yang melatarbelakangi konflik tersebut dengan analisis sejarah (Historis analitisc).

I. Kebijakan Pembentukan Kecematan Malifut
Dalam sejarah ummat Manusia jarang terjadi hubungan keharmonisan antara Islam dan Kresten dua agama yang sama-sama meyakini akan ke-esa-an Tuhan. Hal ini mengingatkan kita pada status Jelussalem di Palestina yang kemudian diperebutkan oleh masyarakat Palestina (Islam) dan Israel (Yahudi) yang dalam istilah sejarah yakni perang salib dan ini telah terjadi ribuan tahun silam hingga saat ini. Dalam konteks ini, perebutan wilayah agama yakni antara Islam dan Kresten di Halmahera Utara ini telah terjadi dan dicatat dalam sejarah yakni lebih dari 127 tahun sejak Missi Kresten untuk pertama kalinya berada di Tobelo. Semangat kristinisasi untuk menjadikan Halmahera Utara sebagai basis Kristen termotivasi dari tumbuh kembangnya agama Kristen pada wilayah seperti Papua, Sualwesi Utara, (terutama Manado), Ambon. Hal ini melahirkan semangat dikalangan ummat Kristiani di Halmahera Utara untuk membangun tanah Oukumene-nya. Cita-cita suci ini kemudian terhambat oleh kedatangan suku Makian akibat dari isu meletusnya gunung berapi di tahun 1975. Pemerintah menempatkan mereka di tanah kosong yang di kenal sekarang dengan nama Malifut dekat tanah genting Bobaneigo yang merupakan bagian terselatan dari Halmahera Utara. Kedatangan para pendatang ini kemudian dalam pandangan masyaraklat asli yang nota bene beragama Kristen ini merasa gerak espansi mereka ke arah Halmahera Selatan dan Tengah di sumbat.
Ada banyak hal yang menjadi faktor secara akumulatif mematangkan konflik hingga menjadi konflik terbuka. Namun dalam rentang waktu yang pendek, bila dikatang bahwa konflik ini dimulai dengan adanya gagasan pembentukan kecematan Malifut yang kemudian disahkan dalam sebuah Peraturan Pemerintah (PP). Setidaknya keluarnya PP tersebut menjadi trigger (pemicu) terjadinya konflik di wilayah ini. Dengan PP Nomor 42 Tahun 1999 tentang pembentukan dan penataan beberapa kecematan di wilaya kabupaten Tingkat II Maluku Utara pada bulan Mei 1999. dan keluarnya PP tersebut satu bulan menjelang pemungutan suara yang juga dekat dengan masa kampanye pertama di era reformasi dan masa ini sangat riskan terhadap konflik.
Ditengah tantangan besar seperti itu, pemerintah sangat antusias melakukan pemekaran wilayah. Dua wilayah yang berhasil di mekarkan yakni Propinsi Gorontalo (Pecahan dari Sulawesi Utara) dan Propinsi Maluku Utara (Pecahan dari Propinsi Maluku). Adalah dugaan kuat bahwa pemekaran wilayah ini tidak jauh dari upaya memperkuat kekuatan (melalui Fraksi utusan Daerah di MPR) untuk mempertahankan rezim orde baru. namun pemekaran itu memuat tuntutan dari daerah yang telah bosan dengan hegemoni pemerintah pusat. Itu sebabnya sangat mengejutkan masyarakat ketika pemerintah mengeluarkan PP tentang pembentukan kecmatan Malifut yang akhirnya menimbulkan konflik diantara Masyarakat Kao dan Malifut.
Untuk memenuhi syarat pemekaran, yakni luas daerah maupun jumlah penduduk dalam satu kecematan, kebijakan pembentukan kecematan Malifut dengan digabungkanya kelima desa (Desa Sosol, Wangeotak, Gayap, Balisosang dan Tabobo) yang secara kultur masuk dalam wilayah Kao (mayoritas beragama kresten), namun kenyataanya, orang-orang Kao diluar maupun didalam kelima desa tersebut tidak bersediah dan sangat keberatan untuk digabungkan kedalam wilayah Makian Malifut (mayoritas Islam). Keberatan ini berdasar menurut adat mereka bahwa kelima desa tersebut terikat dalam satu sumpah leluhur yang bernaung dalam satu ikatan suku/soa (suku Pagu, Boeng, Modole, dan Kao) dan jika mereka tidak mematuhi janji tersebut maka mereka kena Katula atau Kualat (jadi kodok dan Monyet) dari sumpah adat Sultan Babullah yang melarang mereka untuk saling berpisah. Hanya karna Sejarah.
Selain lima desa tersebut, ada enam desa lainya di kecematan Jailolo Halmahera Barat juga tidak bersediah bergabung dengan kecematan baru tersebut. Keenam desa tersebut yakni Desa Akelamo Kao, Bobaneigo, Dodinga, Akesahu, Dum-Dum Pantai dan Pasir Putih.
Pada bulan Agustus 1999 PP Nomor 42 telah menjadi pemicu konflik yang setidaknya menewaskan 20 orang dan merusak 100 bangunan rumah dan sarana umum, namun tidak ada upaya dari pemerintah untuk menyelesaikan akar permasahalanya, misalnya masyarakat Kao mengehendaki agar PP tersebut dihapuskan sedangkan masyarakat Malifut mengendaki PP diberlakukan. Pemerintah mempunyai wewenang, namun terkesan mengabaikan permasalaha tersebut. Hingga sejauh ini tidak ada kejelasan apakah PP nomor 42 itu berlaku meskipun kecematan Malifut tetap berjalan atau tidak berlaku atau ada pilihan dengan melakukan revisi atas PP tersebut yang mengakomudir kepentingan kedua pihak untuk mencegah konflik yang berkelanjutan. Apalagi saat ini terjadi tarik menarik antara Pemerintah Daerah (Pemda) Halmahera Utara dengan Pemda Halmahera Barat mengenai status enam desa (Akelamo Kao, Bobaneigo, Dodinga, Akesahu, Dum-Dum Pantai, dan Pasir Putih) dimana secara de jure masuk dalam PP Nomor 42 di Halmahera Utara tapi secara de fakto dalam pelayanan masyarakat enam desa cenderung ke Halmahera Barat.
II. Faktor Sumber Daya Alam (SDA)
Kesenjangan sosial-ekonomi antara kedua kelompok yang tumpah-tindih dengan batas-batas sentimen agama dan suku ini kemudian diperpara dengan ditemukan dan diesportirnya tambang emas di wilayah Malifut. Hal ini kemudian menjadi sumber sengketa diantara kedua suku tersebut. Potensi sumber daya alam yang melimpah di Halmahera Utara selain sebagai anugrah juga sebagai petaka, dalam hal tambang Gosowong Halmahera PT Nusa Halmahera Minerals (PT.NHM) merupakan kerja sama New Crest Austraila Holding Pte LTD (New Crest) 82,5 % dan PT Aneka Tambang (Persero) 17,5 %. Kontra karya antara pemerintah RI dan PT NHM di tandatangani pada tanggal 28 April 1997. persetujuan kontrak karya berdasarkan keputusan Presiden RI Nomor B 143 / Press/ 3/ 1997 tertanggal 17 Maret 1997. luas wilayah kontrak karya pada waktu ditandatangani adalah 1.6772.967 Ha, kemudian dilakukan tiga kali penciutan luas wilayah hingga saat ini luas wilayah yang terdapat dalam kontra karya PT NHM adalah 29.622 Ha. Hingga saat ini hasil kegiatan eksporasi telah ditemukan cadangan layak tambang (terakumulasi) sebesar 3.500.000 Oz emas (Gosowong, Taguraci, dan Kencana I) dengan pembiyayaan untuk ekspoitasi di tingkatkan menjadi U$D 50.000.000.00 sampai akhir 2010 seluruh arel di bagi menjadi 9 blok prespektif.
Aktivitas pengelolahan emas dilakukan diwilayah sekitar pertengahan antara Halmahera Utara dan Halmahera Barat yakni di Malifut. Perusahan ini mulai beroprasi pada tahun 1997 untuk mengespoitasi emas dikawasan gosowong. Disisi lain daerah ini dikleim oleh masyarakat Kao sebagai salah satu dari wilayah Soa Pagu. Dengan adanya tambang inilah kemudian mulai membuat manusia lupa akan kebenaran. Konsesi tambang di bumi Malifut dan Kao bagai menjadi bara dalam sekam yang dimulai dengan kontak kecil-kecilan antara warga Kao dan Malifut seperti rekrutmen tenaga kerja yang tidak adil (terlalu banyak menerima tenaga kerja asal Makian Malifut dibanding dengan Kao) sampai dengan antar jemput karyawan hingga sering terjadi kontak fisik antara para pekerja (Kao Malifut) dan menimbulkan dendam.
Pada pertengahan tahun 1999 keluarlah sebuah pelaturan yang memicu pro kontra di kedua komunitas menyebabkan 20 orang tenaga kerja baik Kao dan Malifut di PHK dan pada bulan Oktober 1999, karna pihak perusahan tidak mau mengambil resiko karna konflik kemudian pihak perusahan memutuskan untuk mengambil tenaga yang berasal dari luar daerah Maluku Utara.
Dengan potensi yang dimiliki selain tambang emas, ada juga pengelolahan jenis pisang celvandis oleh PT.GAI (Global agronusa Industri) perusahan yang berkedudukan di Galela itu juga mengespor pisang ke mancanegara dalam jumlah yang besar. Sementara di Morotai, terdapat pabrik pengalengan ikan untuk diekspor. Morotai juga dikenal sejak perang dunia I mempunyai 7 buah landasan pacu pesawat standar internasional peninggalan sekutu. Karna dengan potensi tersebut maka akan mengdokrak pendapatan asli daerah. Menurut Tamrin Amal Tomagola, kesenjangan sosial ekonomi antara kedua suku tersebut, bertumpang tindih dengan batas-batas sentimen agama yang diperpara dengan kehadiran tambang emas NHM. Sehingga dengan potensi ekonomi tersebut kemudian melahirkan Ide Suci untuk menjadikan Halmahera Utara sebagai Israel kedua dan Tobelo sebagai Kota Kristen. Karna dengan SDA yang di miliki oleh Halmahera Utara, maka pihak Kresten akan dengan mudah membangun daerah tersebut menjadi satu kawasan kresten yang sangat maju. Perebutan wilayah agama inilah yang menjadi tujuan dari gerakan tersebut.

III. Status Tanah Ulayat
Dalam empat kerajaan di Maluku Utara masing-masing memiliki gelar seperti Ternate sebagai alam makolano, Tidore sebagai Kie Makolano, Bacan sebagai Jiko Makolano dan Jailolo sebagai Dehe Makolano. Tapi paling berpengaruh adalah Ternate dan Tidore dimana kedua kerajaan ini memiliki pengaruh yang sangat besar. Kakuasaan kerajaan Ternate meliputi Sidangoli, Dodinga, Bobaneigo, dan seluuruh Halmahera Utara (Malifut, Kao, Tobelo dan Galela) hingga ke Barat sampai di Sulawesi, Mindanao, Gorontalo, sampai Nusa Tenggara Timur. Dan kekuasaan Tidore mulai dari Bobaneigo kesebalah pulau Halmahera sampai ke Papua dan Raja Empat. Gambaran wilayah kekuasaan Ternate dan Tidore inilah yang kemudian menjadi sebuah alasan kuat dari suku Kao bahwa tanah Malifut adalah tanah adat Sultan Ternate sampai saat ini dan Masyarakat Makian tidak berhak untuk mendiami wilayah tersebut.
Ketika kehadiran Suku Makian di Malifut, suku Kao banyak belajar tentang peradaban Makian, peradaban moderen sederhana itu adalah fasilitas Mandi Cuci Kakus (MCK) juga penguasaan lahan sebagai perkebunan kelapa yang dilandasi dengan ketekunan dan kegigihan dalam bekerja. Dan ini sangat berbada dari masyarakat Kao yang hanya puas dengan pemenuhan sederhana kehidupan sehari-hari. Hal ini sangat jelas terlihat dari tingkat pendidikan dan berbagai komposisi birokrasi pemerintahan. Hal ini menyebabkan kesenjangan dan kecemburuan pada suku Kao. Apalagi banyak program dan dana pemerintah untuk pembangunan Malifut. Perasaan suku Kao mungkin dapat dijelaskan dengan pendapat Paul Sites tentang konflik akibat upaya pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Memang pola produksi (Mode of production) antara Kao dan Malifut memiliki perbedaan dan inilah yang menyebabkan Kao sebagai Tuan rumah merasa dipinggirkan.
Kecemburuan sosial oleh Masyarakat Kao tersebut pada akhirnya menimbulkan gugatan kultur yang berbasis etnohistorisme sebagai pemilik tanah adat sekaligus penghuni kesatuan suku asli (Sagu, Pagu, Boeng, Kao dan Modole) dan gugatan cultur inilah yang kemudian menimbulkan konflik antara suku Kao yang mayoritas Kresten dan suku Makian yang ada di Malifut yang mayoritas Islam.

VI. Apa Faktor Utama Konflik Halmahera Utara 1999?
Menurut Chris Mitchell, setiap konflik yang terjadi akibat dari hubungan antara kedua pihak atau lebih baik individu maupun kelompok yang memiliki sasaran dan tujuan yang tidak sejalan. Perbedaan visi inilah kemudian melahirkan kekerasan fisik maupun non fisik diantara kedua pihak.
Dengan berbagai catatan sejarah diatas maka bisa di tarik benang merah bahwa sumber utama konflik di Halmahera Utara 1999 adalah akibat perebutan wilayah agama. Namun isu agama seakan dibungkus secara rapi dengan berbagai macam isu, seperti kebijakan pembentukan Kecematan Malifut, isu perebutan kursi gubernur, isu perebutan sumber daya alam, isu penempatan ibu kota propinsi dan masih banyak lagi isu yang berkembang sehingga menjadi diagnosa analisis untuk memahami akar penyebab konflik tersebut. Namun perebutan wilayah agama adalah isu sentral dan ini menjadi target akhir dari gerakan tersebut. Semangat untuk menjadikan Halmahera Utara sebagai basis gerakan sudah terbangun ribuan tahun silam dimana kedua agama (Islam-Kristen) ini saling berlomba membangun hegemoni di tanah daratan tersebut. Fenomena inilah yang menjadi warisan sejarah dimana tercipta masyarakat yang memiliki sikap tetap negatif, emosi tetap tinggi, membedakan antara satu dengan yang lain dengan latar belakan agama yang dikedepankan. Dengan faktor ini, kemudian tidak tercipta keharmonisan diantara kedua agama tersebut. Ketidakharmonisan ini kemudian menjadi lahan subur munculnya konflik agama.


























VII. Kesimpulan
Setiap konflik yang terjadi kalah menang seakan tidak berarti, ini dikarenakan kedua pihak mendapatkan kerugian yang sama. Dalam konteks ini, konflik yang terjadi di berbagai daerah dengan beragam sebab dan khususnya di Halmahera Utara yang diawali di Malifut yang meninggalkan beban sosial yang sangat memberatkan, seharusnya menjadi bahan refleksi agar tidak terulang kembali. Setiap peristiwa yang terjadi dalah kehidupan manusia baik bersifat makro maupun mikro memiliki hikmah yang cukup besar. Maka dari itu masa lalu Halmahera Utara dimana wilayah ini sempat menjadi wilayah rebutan antara berbagai kerajaan dan agama karna letak geeografisnya yang sangat strategis, dan potensi alamnya, dan ini adalah potensi yang sangat bernilai untuk pembangunan kedepan, dan bukan dengan masa lalu kita menciptakan identitas baru yang conderung merugikan orang lain. Karna perbedaan Agama, adalah rahmat Tuhan yang harus dijadikan sebagai modal pembangunan suatu daerah.
Berbagai permasalahan yang telah mendukung terjadinya konflik di Halmahera Utara seperti permasalahan PP Nomor 42 Tahun 1999, Status tanah ulayat, perebutan sumber daya alam, dan berbagai isu pendukung lainya harus diselesaikan secara arif dan bijaksana, sehinga tidak ada yang merasa dirugikan. Begitu juga tokoh-tokoh kunci dari konflik tersebut yang menginginkan wilayah Halmahera Utara harus menjadi basis sala satu agama juga harus membatalkan cita-cita tersebut, agar bersama pemerintah membangun Halmahera Utara karna dengan otonomi daerah maka menjadi sebuah peluang untuk setiap generasi bangsa memajukan daerahnya dengan bermodalkan pada potensi daerah yakni SDA, SDM, dan yang lebih penting adalah potensi sejarah dan Budayanya.
Halmahera Utara adalah sebuah kabupaten di propimsi Maluku Utara yang memiliki potensi pembanguan baik Sumber Daya Alam, Sumber daya Manusia dan potensi Sejarahnya sangat berlimpah dan ini adalah modal utama pembangunan dan jika di kelolah secara bijak maka visi Halmahera Utara untuk Go Internasional berhasil dengan baik, maka yang harus dilakukan dan yang paling penting adalah bagaimana pemerintah daerah bersama masyarakat menciptakan keharmonisan di daerah tersebut. karna pembangunan yang diskriminatif yang dikontrol oleh golongan tertentu demi kemajuan dan kesejatraan golongannya sendiri adalah sebuah bentuk dosa pembangunan yang tidak sesuai dengan nilai Bhineka Tunggal Ika (Berbeda-beda tetap satu) dan jika semangat golongan, agama tetap di kedepankan maka roh Hibualamo (rumah besar) sebagai filsafat hidup Masyarakat Halmahera Utara yang berarti menampung seluruh agama, ras dan golongan tidak akan tercapai.

VIII. Saran
Ada beberapa langkah yang harus dilakukan agar konflik tersebut jangan terulang lagi. Ini dikarenakan saat ini kondisi kehidupan Masyarakat Maluku Utara pada umumnya dan lebih khususnya masyarakat Halmahera Utara terlihat relatif kondusif, tetapi bila di cermati secara mendalam masih tersisa luka sosial dan psykologis yang diderita masyarakat. Untuk menghilangkan secara totalitas seluruh dendam maka di butuhkan langkah rehabilitasi melalui perlakuan yang bijak dan komprehensif, integral serta terpadu dari seluruh elemen bangsa yang ada.
a. Para tokoh agama harus berperan dalam memulihkan kondisi dengan meningkatkan pemahaman dan penghayatan terhadap agama yang dipeluknya dan mengajak ummatnya untuk bisa memahami keberadaan agama lain serta para pengikutnya, selain itu membangun toleransi dan kerukunan yang tinggi antar ummat beragama Karna hal ini bisa menciptakan kembali keharmonisan diantara kedua agama tersebut.
b. Para tokoh agama bersama pemerintah harus berusaha membentuk kepribadian yang menjunjung tinggi nilai moral di kalangan generasi muda sehingga terhindar dari minuman keras dan narkoba.
c. Pemerintah melalui pemerintah daerah, peguruan tinggi, dan berbagai LSM yeng bergerak di bidang sosial budaya melaksanakan dialog antar ummat beragama, mengajak masyarakat untuk memilihara budaya lokal, menciptakan suasana yang menjadi pelajaran pendidikan budaya kepada masyarakat sehingga melahirkan kesadaran budaya bahwa perbedaan agama adalah rahmat Tuhan (keniscayaan) yang harus di hargai.
d. Pemerintah harus melakukan pemerataan pembangunan agar tidak melahirkan kecemburuan sosial dalam masyarakat.
e. Penegakan hukum harus dikedepankan oleh pihak yang berwajib demi tercipatanya keamanan dan ketertiban di Halmahera Utara
DAFTAR PUSTAKA



Muhammad, Syahril. 2006. Konflik Sosial Maluku Utara Studi Sosio-Historis (Makalah). Bandung : UPI
Muhammad, Syahril dan Umi Barjiyah. 2006. Persepsi Masyarakat Terhadap Netralisasi Militer dalam Konflik Sosial di Maluku Utara (Laporan Penilitian Dosen Muda). Ternate: Unkhair
Ruray, Saiful B. 2000. “Tragedi di Halmahera antara Bosnia dan Popilo” (Dalam Kasman Ahmad dan Herman Oesman, Damai yang Terkoyak Catatan di Bumi Halmahera). Ternate : Podium dan Madani Press
Sitohang, Hendry H. 2003. Menuju Rekonsiliasi di Halmahera. Jakarta: PPRP
Trytmoko, Mardiyanto Wahyu. 2005. “Masyarakat Indonesia” Majalah Ilmu Sosial Indonesia. Jakarta : LIPI
Yusuf, Sry Yanuarty. 2004. Konflik Maluku Utara Penyebab dan Penyelesaian Jangka Panjang. Jakarta : LIPI
Yusuf, Jainul. 2007. Konflik Sosial di Malifut 1999-2005 : Studi Sosio-Historis. (Skripsi) Ternate : Unkhair


Http/www.NHM.co.id akses 13 Maret 2009

MALUKU UTARA DALAM KURUN NIAGA NUSANTARA (Suatu Kajian Sejarah Kemaritiman Indonesia Timur Abad ke XVII-XIX)

MALUKU UTARA DALAM KURUN NIAGA NUSANTARA

(Suatu Kajian Sejarah Kemaritman Indonesia Timur Abad ke XVII-XIX[1])

(Azwar Abdullah)[2]

Alas Pikir

Perkembangan mutakhir Historiografi Indonesia memperlihatkan perhatian terhadap kajian Sejarah Maritim, atau ada yang menyebutnya sebagai Sejarah Bahari. Timbulnya perhatian ini tidaklah terlampau mengherankan karena sepertiga wilayah Indonesia terdiri dari bentangan perairan, mulai dari laut hingga danau dan sungai. Secara khusus laut memiliki peranan penting dalam dinamika politik dan masyarakat Indonesia. Dari sudut pandang masa kini, laut tidak lagi dipandang sebagai pemisah daratan atau pulau-pulau tetapi lebih sebagai pemersatu. Selain itu, laut merupakan urat nadi penting dalam komunikasi antar tempat di nusantara. Dewasa ini di tengah-tengah persaingan ekonomi bangsa-bangsa yang semakin menajam, konsep Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelagic state) perlu dimantapkan untuk disebarluaskan dan diperjuangkan di tingkat internasional. Sudah tahun 1957, ketika Deklarasi Juanda dicanangkan, gagasan itu muncul. Deklarasi ini menyatakan bahwa batas territorial atau kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah garis terluar dari batas pantai yang saling berhubungan dan tidak ada celahnya. Gagasan ini merupakan jawaban terhadap pandangan Laut Bebas yang menimbulkan anggapan perairan di seluruh dunia sebagai common property. Pada tahun 1980-an muncul gagasan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), yang memberikan kedaulatan kepada Negara kepulauan untuk menggarap sumber daya maritimnya.[3]

Pengembangan sejarah kemaritiman membawa perubahan besar terhadap Historiografi Indonesia. Penulisan sejarah Indonesia jangan hanya menjadikan darat sebagai pusat kajian tetapi juga sudut pandang Sejarah Indonesia berorentasi juga ke laut. Maksudnya, dinamika kelautan menjadi bagian perubahan di Indonesia terutama yang berlangsung di daratan. Dengan begitu, penulisan sejarah Indonesia menjadi lengkap dan komprehensif. Dalam pemikiran Susanto Zuhdi (2006), seorang Guru Besar Sejarah Indonesia di Universitas Indonesia, perspektif Tanah Air perlu memperoleh pertimbangan dalam Historiografi Indonesia. Penulisan Sejarah Maritim berawal dari karya A.B. Lapian (1987) yang mengetengahkan trikotomi tipologi dalam konstelasi dan dinamika di laut, sebagai Raja Laut, Bajak Laut dan Orang Laut. Pengembangan bajak laut sebagai fenomena dalam dunia maritime. Selain itu, aspek selanjutnya dalam Sejarah Maritim adalah pelayaran dan perdagangan. Keperkasaan pelaut nusantara telah terbukti hingga ke mancanegara. Pelayaran mereka mencapai Madagasar dan Australia (Marege). Dalam jaringan pelayaran interregional, letak strategis kepulauan Indonesia menjadi perlintasan yang penting dalam pelayaran internasional. Terkait dengan jaringan pelayaran, kepentingan ekonomi memainkan peranan yang tidak kecil. Perdagangan internasional menjadi makin marak menyusul kemajuan dalam bidang teknologi pelayaran dan perkapalan. Pembuatan kapal lintas samudra, penemuan alat navigasi dan pengetahuan perbintangan merupakan faktor penting dalm kemajuan itu.

Oleh karena itu, harus diketahui bersama bahwa dalam sejarah ummat manusia mereka menjadikan laut sebagai jalur yang cocok untuk di arungi, menyebarkan kebudayaan dan berdagang hingga ke berbagai pulau di tanah air ini. Dalam Sejarah Maluku Utara sebelum kedatangan bangsa eropa, negeri ini telah didatangi orag Cina dan para pedagang Arab hal ini mengidensikasikan bahwa para pedangang cina dan Arab telah lama melaksanakan kegiatan niaga di Maluku Utara. Para pedagang inilah yang membawa rempah-remah ke Calicuta, sri langkah, timur tengah dan laut tengah. Ketika orang-orang Islam menguasai mediteranian, hal ini merupakan malapetaka bagi perdagangan orang-orang Eropa, sehingga memaksa mereka untuk mencari pusat rempah-rempah. Para pedagang lebih banyak menggunakan laut sebgai jalur perdagangan sehingga ada yang kita kenal dengan jalur sutera. Karena transportasi rempah-rempah melalui jalur darat ternyata beresiko tinggi. Selain harus berhadapan dengan para bajak laut, para pedagangang yang menempuh jalur ini harus mengeluarkan biaya tinggi untuk membayar pungutan di sepanjang jalur tersebut.[4] Seperti yang dikethui, kerajaan-kerajaan Maluku mengandalkan sumber penghasilan dari sector produksi dan perdagangan rempah-rempah. Maluku sebagai pusat rempah-rempah membuat bangsa asing berani mengarungi samudra yang begitu ganas, keuntungan dalam perniagaan rempah-rempah begitu fantastis. Bahkan hampir tidak masuk akal.

Kondisi Geografis Wilayah Maluku Utara

Maluku Utara adalah daerah kepulauan yang teletak pada lintasan garis khatulitiwa dan berada pada 124 sampai 129 bujur timur dan 3 lintang utara sampai 3 lintang selatan. Ada sekitar 353 pulau besar dan kecil baik yang berpenghuni maupun belum di wilayah ini. Pulau terbesarnya dan paling utama adalah Halmahera, menyusul pulau-pulau penting lainya seprti Obi, Sula, Morotai, Bacan, Makian, Ternate dan Tidore. Luas wilayah daratan Maluku Utara mencapai 32.000 km² kemudian kawasan lautnya sebesar 107.381 km². di sebelah utara kawasan ini berbatasan langsung dengan samudra pasifik, disebelah selatan dengan laut seram, di sebelah timur dengan laut Halmahera, dan disebelah barat dengan laut Maluku.

Fisiografi Maluku Utara di bentuk oleh relief-relief besar, dimana palung-palung oseanis dan punggung-punggung pegunungan saling berganti secara amat mencolok. Kepulauan ini terdiri dari dua lingkungan kesatuan kepualaun yang berjalan melalui Filipina, sangir talaud, minahasa, yang dilengkupi oleh leluk Sulawesi, palung sangihe yang vulkanik dan lengkungan kontinen Malanesis yang bergerak dari Papua bagian utara, Halmahera timur, dan berakhir di Maluku Utara bagian utara yang nir-vulkanik. Secara topografis, sebagian besar Maluku Utara terdiri dari pulau-pulau vulkanik dan pulau karang, dengan jenis tanah yang dominan berupa tanah kompleks brown forest soil, tanah mediteran, tanah lotosal, dan tanah renzina. Penyebaran daratanya terdiri dari kelompok pulau besar seperti Halmahera, kelompok pulau sedang seperti Morotai, Bacan, obi, Taliabu, Mongoli serta kelompok pulau kecil seperti Ternate, Tidore, Makean Kayoa dan sebagainya.

Jaringan Perdagangan dan Munculnya Kota Perdagangan

Pada tahun 1512, Portugis menduduki kepulauan Maluku dan sebagian kerajaan di Indonesia Timur menerima kedatangan Bangsa Portugis dengan senang hati, karena bagi mereka orang-orang Eropa menghargai hasil kebun rempah-rempah dan terbukalah perdagangan secara langsung dengan masyaraat di daerah tersebut. Kedatngan bangsa eropa ini membuat masyarakat di daerah penghasil rempah-rempah terutama Maluku menyadari bahwa Cengkeh sangat berharga sehingga penduduk mulai membudidayakan perkebunan cengkeh, namun orang-orang kulit putih ini membeli dan memenuhi muatan kapal mereka dengan pala, bunga pala (fuli), dan cengkeh dengan harga yang murah. Dengan mendapatkan harga yang murah mereka dapat memperoleh keuntungan hingga berlipat ganda ketika menjualnya ke Lisabon.

Rempah-rempah di Kepulauan Maluku sebelum kedatangan bangsa Portugis dibeli oleh para pedagang dari Melayu, China, dan Arab lalu dikapalkan ke Teluk Persia, diangkut oleh kafilah ke kawasan Laut Tengah dan dipasarkan ke Konstantinopel, Genoa, Venice (Venesia). Melalui karavan daratan Cina, sejarah membuktikan bahwa kapal-kapal Cina sudah berada di Banda Naira kurang lebih 600 tahun sebelum Portugis tiba. Setiap kali rempah-rempah itu diperjual-belikan atau berpindah tangan, harganya naik menjadi 100 %.[5] Bangsa Portugis yang terlebih dahulu datang ke Indonesia sebelum Belanda, selain di Malakka, memusatkan perhatian mereka di kepulauan Maluku. Ketika orang-orang Islam menguasai mediteranian, hal ini merupakan malapetaka bagi perdagangan orang-orang Eropa. Pada tahun 1511, Laksamana Alfonso de Albuquerque (penjelajah Portugis) sesuai perintah Raja Portugal mengirimkan dua kapal, masing-masing dipimpin oleh Antonio de Abreu dan Fransisco Serrao menuju Kepulauan Maluku untuk menemukan Banda Naira sebagaimana yang tertulis dalam catatan perjalanan Fransisco Serrao.

Tingginya kebutuhan rempah-rempah itu hingga membawa orang Eropa berlayar ke Asia, tepatnya ke Maluku. Pada abad ke-16 Portugis telah memusatkan keberadaannya di Ambon, Kepulauan Banda dan sampai ke Ternate, Tidore, kemudian mereka pun berlayar ke Nusa Tenggara yang kaya akan kayu cendana, hingga akhirnya mempunyai kekuasaan di Timor. Jalur pelayaran yang dilakukan oleh para pedagang untuk mencapai kepulauan Maluku dilakukan dengan menggunakan kapal layar dan perahu. Secara tradisional pengetahuan akan astronomi yang telah lama dikenal membantu para pelaut dalam pelayaran, walaupun sebenarnya para nelayan Nusantara telah mengenal kompas. Pengetahuan tentang kompas mereka peroleh dari para pedagang Arab, Persia, Gujarat, dan China yang sering berkunjung di Kepulauan Nusantara. Melalui ilmu perbintangan ini dapat diduga akan arah mata angin, musim, dan arus laut. Ketika langit cerah maka perahu dapat diarahkan dengan melihat bintang dan bentuknya, sehingga para nelayan dan perahu pedagang biasanya telah mempunyai pengetahuan akan musim angin.

Jaringan perdagangan maritim ini sangat ditentukan oleh angin muson karena tenaga pendorong utama sarana angkutan pada saat itu adalah angin buritan, namun bagi perahu ada tenaga pendayung yang memperkuat lajunya perahu. Pelayaran perdagangan ini dipengaruhi oleh muson barat laut dan muson timur laut. Muson barat laut berlangsung antara bulan September hingga Mei dan muson timur berlangsung pada bulan Juni hingga September. Angin muson ini mempengaruhi terhadap musim hujan dan musim kemarau, pada kurun waktu masing-masing muson itu terseling pula muson utara yang bertiup pada bulan Januari sehingga membuat kondisi muson barat laut terganggu pada bulan Januari hingga awal Pebruari. Ketika bertiup muson timur laut bertiup pula muson angin tenggara pada bulan Juni. Kondisi muson ini diikuti pula dengan pengaruh angin darat dan arus laut yang mengikuti arah angin, menciptakan pola jalur pelayaran niaga dan jaringan dalam perdagangan maritim Nusantara.[6]

Jalur perdagangan ini menempatkan Maluku sebagai jaringan perdagangan rempah-rempah baik melalui jalur timur-barat, maupun utara-selatan. Jaringan perdagangan barat-timur menyebabkan adanya dua jalur penting dalam pelayaran niaga ini. Pertama adalah jalur pelayaran dari Malaka menyusuri pesisir utara Pulau Sumatera, Jawa kemudian ke Nusa Tenggara dan melanjutkan pelayaran menuju Maluku bagi yang akan mencari rempah-rempah dan yang mencari kayu cendana memasuki perairan Nusa Tenggara Timur ke Timor dan Sumba. Pelayaran balik mengikuti jalur yang sama. Jalur lain, seperti dimuat dalam catatan Tome Pires, adalah dari Malaka ke Tanjungpura kemudian berlayar ke Makasar selanjutnya melalui Buton menuju Maluku dan kembali dengan jalur yang sama. Penguasaan Portugis terhadap malaka pada tahun 1511, dan melakukan pelayaran ke bagian timur dengan melewati jalur utara yakni dari Malaka menuju Kalimantan setelah itu ke Sulawesi dan selanjutnya ke Ternate dan pulau-pulau penghasil rempah lainya. Sebelum mereka menginjakkan kakinya di bumi Maluku, mereka telah menjalin hubungan perdagangan dengan orang-orag makasar akibat dari perubahan arah angin yang menyebabkan mereka harus mendarat di wilayah-wilayah di Indonesia timur.

Akibat dibukanya beberapa jalur pelayaran niaga, perairan Maluku makin ramai didatangi oleh para pedagang baik dari Nusantara sendiri, maupun bangsa Eropa. Perniagaan di Maluku, terutama pada wilayah perdagangan Maluku Utara para pedagang local melakukan perdagangan dengan para pedagang dari Pulau Seram, Bugis-Makassar, Buton, Manado, Timor, dan wilayah sekitar Papua. Dari tempat-tempat ini perahu menjelajahi Papua Barat, Aru, Kei, Banda, Bali, sampai ke Sumbawa. Pedagang dari Papua, para pedagang membawa alat-alat dari besi, tenunan, tembikar, perunggu, serta burung cendrawasih. Barang-barang ini ditukar (barter) dengan pala hutan masoi, tripang, karet, dan lain-lain. Mereka yang ke Kei membawa gong, tembakau, tembikar, parang, tenunan, sagu, pinang, senjata, dan lain-lain yang ditukar dengan hasil laut seperti mutiara, tripang. Barang-barang yang diangkut dari Papua dan Kei ini dijual lagi kepada para pedagang dari Makassar yang datang ke Seram dan Gorom. Dari para pedagang Bugis barter dengan bahan-bahan katun, mesiu, emas, dan lain-lain. Uang perak, pala, dan hasil laut, yang diperoleh dari para pedagang Makassar-Bugis dibawa ke Bali. Dari Manado, beras dan kopi menjadi komuditi utama, selain itu juga dari Bali para pedagang membawa perak, beras, katun, senjata, yang dijual di Maluku.[7]

Hubungan antara para pedagang Maluku Utara dan para pedagangn Sulawesi sudah terjalin sejak lama. Para pedagang dari Sulawesi mendatangi Maluku untuk menjual barang-barang dagangan, begitu juga sebaliknya. Pada saat itu peraira Maluku/Maluku Utara dan Sulawesi telah ramai dilalui kapal-kapal dagang. Secara teritorial ada batasan-batasan wilayah antara perairan Sulawesi dan Maluku Utara, namun pada dasarnya kedua wilayah perairan itu masih dalam satu jalur yang berkesinambungan. Kota-kota dagangan di Sulawesi dan Maluku Utara pada dasarnya menjadi tempat para pedagang untuk saling bertransaksi dimana pusat perdagangan itu saling berhubungan antara satu dengan yang lain.

Ternate sebagai sala satu pusat perdagangan di Nusantara bagian timur, banyak didatangi oleh pedagang baik local maupun asing. Para pedagang makasar-bugis membawa barang dagangan berupa bahan-bahan katun, mesiu, emas, dan lain-lain. Uang perak, pala, dan hasil laut. Barang-barang ini kemudian ditukar dengan rempah-rempah yang kemudian oleh para pedagang tersebut dibawa ke pusat perdagangan baik di Sulawesi sendiri bahkan sampai ke Batavia. Jaringan sosolot yang merentang dari Banda dan Kepulauan Aru banyak didatangi para pedagang dari luar, selain Bugis dan Makassar, Sumba, Timor, Bali, Raja Ampat, Onin, dan Jawa, jaringan yang menghubungkan Laut Seram dan Gorom itu terjadi hubungan tukar-menukar barang perdagangan seperti tenun dan barang-barang dari besi untuk ditukar dengan produk-produk lainnya. Pedagang-pedagang Seram Timur sering meminjam sekitar dua puluh sampai empat puluh kapal dari orang-orang Makassar dan Bugis yang menjelajah sampai Massoi dan Papua Nugini.

Setuju pada pendapat A.B Lapian yang mengatakan bahwa sejak abad ke-16 perahu-perahu besar telah membawa barang-barang dagangan dalam jumlah besar menuju ke tempat-tempat yang jauh. Semakin jauh perjalanan semakin mewah barang yang dibawa. Pada abad ini pula Banda telah mengimport kain dan tenunan halus dari negeri-negeri Asia di sebelah barat yang telah dibawa oleh kapal-kapal Portugis. Kapal-kapal kecil dari Jawa dan Melayu membawa tenunan kasar. Menurutnya pula bahwa Raja Gresik sering memborong kain-kain halus dan sutra dari para pedagang kemudian dijual kembali atau dieksport ke Banda dan tempat-tempat lain di Maluku. Tenunan kasar diperdagangkan ke Banda, karena dari negeri ini juga didatangi para pedagang dari Halmahera, Raja Ampat, Ternate, Tidore, Timor, Sumbawa. Dari para pedagang Halmahera dan Papua dapat ditukar dengan sagu dan rempah-rempah. Sagu selain menjadi makanan pokok orang Maluku juga sering dibeli oleh para awak kapal karena dapat disimpan dalam waktu yang lama sebagai bekal perjalanan. Menurut Tome Pires, sagu dan lada pada waktu itu juga dapat dipakai sebagai alat bayar.[8]

Banda sebagai tempat perdagangan yang didatangi oleh para pedagang dari banyak daerah telah membuat Banda sebagai kota pantai yang penting dalam perdagangan maritim. Orang-orang Banda sendiri tidak hanya menunggu kedatangan para pedagang dari luar akan tetapi juga sering melakukan perjalanan untuk berdagang sampai Jawa dan Malaka, bahkan di Malaka ada syahbandar yang khusus mengurus kepentingan orang-orang Jawa, Maluku, Banda, Palembang, Kalimantan, dan Filiphina. Disebutkan bahwa perahu-perahu orang-orang Banda sebagian besar awak kapalnya terdiri dari budak-budak, namun pelayaran orang Banda ini mendapat catatan buruk, awak kapal sering melompat menceburkan diri sebagai upaya penyelamatan apabila terserang bahaya. Persaingan dengan kapal-kapal dari luar Banda juga menyebabkan pelayaran jauh orang-orang ini tidak bertahan lama.[9]

Terdapat hubungan dagang orang-orang Maluku, VOC dan para pedagang dari Batavia, Ternate, Tidore, Makassar, Manado, Timor, Sumba, Bali, Boetoeng, Surabaya, dan wilayah-wilayah di Jawa. Muatan kapal yang keluar dari Perairan Maluku berbeda dengan muatan yang masuk ke wilayah ini. Pada masa ini setiap perahu atau kapal yang pergi dan keluar agar aman dan dianggap resmi maka masing-masing diberi pasenlijs (semacam surat ijin perjalanan yang diberikan oleh pemerintah). Hal ini merupakan kebijakan dari VOC untuk memantau perdagangan di wilayah Maluku. Monopoli rempah-rempah yang telah ditanamkan sejak dulu selalu dijaga agar tidak hancur oleh masuk dan pergi para pedagang asing maupun lokal.

Para pedagang asing yang datang ke Ambon dan Banda terdiri dari berbagai negara seperti Coromandel, Eropa, India. Dari para pedagang inilah para perkenier mendapatkan bahan-bahan makanan, pakaian, senjata, peralatan pertukangan, peralatan perkebunan, anggur, sayuran, daging, roti, keju, mentega, dan bahan-bahan makanan lain yang cocok untuk para perkenier dan keluarganya. Walaupun begitu, pedagang lokal dari Makassar, Bugis, Manado, Raja Ampat, Ternate, Timor, Jawa, dan Melayu juga berhubungan dengan para perkenier dalam memasok makanan, bulu binatang, dan budak. Pedagang dari Ternate atau Raja Ampat sering menjual sagu, pinang, tripang, masoi, dan hasil-hasil laut lainnya. Pada dasarnya makanan pokok orang-orang Maluku sejak dahulu adalah sagu, sehingga para perkenier memberikan sagu kepada para budaknya sebagai pengganti nasi atau roti. Sementara itu pinang merupakan suatu kesukaan orang-orang Maluku dan Papua yang digunakan untuk menginang[10]. Bahkan menurut cerita orang-orang di Weda Maluku Utara, dahulu orang-orang dari Raja Ampat menukar budak dengan buah pinang.

Dari Coromandel mengajukan permintaan secara resmi berupa kapas, dan katun dengan berbagai warna dan corak, sedangkan dari Bangladesh berupa kain katun. Dari para pedagang Eropa permintaan berupa sikat, benang, jarum besar, tempat untuk melebur emas, tembaga, lempengan logam, balok logam atau kayu untuk penahan lantai, kain untuk budak, lempengan timah, kunci dan gerendel, timbangan, uang logam, wol berbagai warna; merah, abu-abu, hitam, lampu duduk, topi bulat. Sementara permintaan berupa bahan makanan seperti keju, susu, daging, gula-gula yang sudah diasapi, mentega beku, berbagai anggur, bir, gandum, selai buah plum, minyak zaitun, cuka Belanda, dan keramik.[11]

Dari pedagang India didapatkan barang-barang seperti beras, gandum, garam, buah asam, arak, kacang-kacangan, dan anggur madeira. Sementara para pedagang India ini membawa barang-barang dagangan lain seperti lentera bulat, catun, Rotan Jawa, sabun, lilin putih, lampu, minyak kelapa, kain linen perempuan Jawa warna biru, dito-dito, selop atau sandal kain untuk di rumah sakit, keju oles, benang warna biru dan putih, dan keris untuk peralatan militer.[12] Pada dasarnya barang-barang yang dibawa para pedagang dapat dikelompokkan pada beberapa keperluan yaitu untuk keperluan administrasi dan penjilidan buku, bahan-bahan meterial untuk perumahan dan perkebunan, alat-alat perlengkapan perjalanan baik untuk laut maupun darat, persenjataan dan perlengkapannya, peralatan untuk kesehatan yang digunakan oleh orang-orang Belanda dan rumah sakit di dalam kastil, perlengkapan untuk pasukan militer, serta yang terutama untuk keperluan rumah tangga.[13] Dapat dimengerti jika pada abad ke 17 – 19 Perairan Maluku ramai dikunjungi oleh banyak pedagang yang berakibat timbulnya kota-kota pantai seperti Ambon, Banda, Makasar dan Ternate berkembang menjadi kota pantai penting dan menjadi tujuan para pedagang untuk melakukan transaksi.

Kebudayan Maritim

Interaksi antar suku bangsa sudah terjadi sejak dulu kala. Proses hubungan timbale balik ini berlangsung dalam berbagai bentuk. Baik dengan perang maupun lewat benuk persekutuan dan persahabatan. Sehingga hubungan antar suku bangsa terutama lalu lintas perdaganga dapat berjalan dengan baik. Proses interaksi ini menjadi bagian dari sejarah ummat manusia, terutama dalam dunia perdagangan. Dalam sejarah kebudayaan maritime Indonesia, hubungan dagang dalam bentu tukar menukar barang yang menjadi kebtuhn pkok manusia di era tersebut. Proses tukar enukar barang ini baik dilakukan di darat maupun lewat lautan, pada poin kedua ini di butuhkan kemampuan berlayar para pedagang. Dalam dunia kemaritiman, perahu dan kemapuan navigator adalah dua hasil kebudayaan manusia dengan tujuan yang sangat sederhana yakni mampuh mengarungi samudra. walaupun Maluku utara memiliki potensi rempah-rempah, namun para pedagang asing dan eropa yang endominasi perdagangan di negeri ini. Dari sekian banyak suku bangsa yang mendiami wilayah Sulawesi hanya beberapa saja yang mengemangkan kebudayaan bahari yang cukup maju sehingga dapat menyelengarakan pelayaaran jarak jauh. Walaupun dari awal proses ini, jarak pelayaran tidak jauh, sehingga kemapun navigator juga kurang begitu brkebang.

Para pedagangn asing yang datang dari berbagai penjuru dunia, baik Cina, Gujarat, Persia, dan bangsa eropa dengan berbagai bentuk mode perahu atau kapal. Dalam kebudayaan maritime Sulawesi Utara, tidak begitu berkembang. Namun, di sini jenis perahu yang ditemukan berbagai variasi, terutama dalam bentuk cadiknya. Sehingga Sulawesi Utara dan Sangihe – Talaud dan kepulauan sulu dalam satu wilayah sebagai penyebaran berbagai macam cadik.

Nama perahu dalam berbagai bentuk dan berbagai bahasa yang di berikan di Minahasa, misalnya Londei, perahu ini mempunya cadik (sema-sema) yang ganda. Ada pula sampan dalam bentuk kecil namun tdak bercadik yang disebut beloto, atau baloto, dan ada bentuk lain yang disebt tembiling, di Kalimantan timur, jenis perahu yang dikenal di darah ni adalh jukung, lumbung dan gubang. Sedangkan di daerah sabah di kenal dengan dapang dan lipa-lipa. Perahu ini di pakai oleh orang Bajau di Sampurna, sedang perahu dapang berasal dari kepualuan sulu. Disini ada bukti lagi bahwa ada hubungan antara pantai timur Kalimantan denga daerah Filipina selatan. Di Filipina juga ada ditemukan yang menurut Spoehr dengan nama vinta. Selain itu ada perahu yang terbuat dari papan dengan nama balanghai atau barangai. Ada pula perahu yang menurut dalam bahasa sasahara seprti malimbatangeng, Bangka, pato, dalukang. Menurut kpercayaan tradisonal bahwa prjalan dengan perahu tersebut bisa di halangi oleh jin laut, maka nama perahu harus jangan di sebut, jenis perahu ini seperti dorehe an korakora di Maluku utara, jenis perahu coracoa di Filipina selatan juga berasal dari Maluku Utara.

Imigrasi : Sebuah dampak Perdagangan

Kedatangan bangsa Cina, Arab, Persia, Gujarat dan dari Jawa, tidak terlepas dari proses perdagangan. Kedatangan para pedagang Arab ke Maluku Utara sudah terjadi di abad ke -7, ketika mamfaat cengkeh semakin penting di kala itu. Kedatangan mereka secara individu untuk berdagangan. Mereka membawa berbagai perlengkapan seperti tekstil dan kebutuhan lainya yang tidak ada di Maluku Utara, mereka menggantikanya dengan cengkeh dan pala. Proses ini semakin bekembangn dan para pedagangn Arab semakin bertambah hingga terbentuklah komunitas-komunitas kecil. Proses ini terus berlanjut hingga melembaganya Islam di kerajaan di Maluku Utara. Perubahan strultur perintahan dari system kerajaan menjadi kesultanan memperkuat komunitas Arab di negeri ini. Dan tercatat dalam sejarah bahwa pemukiman Arab terbanyak yakni di kelurahan Falajawa 1 di kota Ternate. Selain berdatanganya para pedagang Arab, bersamaan dengan abad tersebut datangalah para pedagang Cina, dengan tujuan yang sama yakni berdagang. Dari cina mereka membawa tektil, tembikar, dan bahan-bahan kebutuhan lainya dan ini semuah di pertukarkan dengan hasil alam di Maluku Utara. Para pedagangan cina kemudian menjadi komunitas dan bermukim di kelurahan yang sekarang di beri nama kampong Cina. Pemukiman orang Cina terdapat disebelah selatan dan sebelah utara benteng Oranje (pusat kota) dan komunitas ini berkembang hingga sekarang.

Selain itu, ada juga komunitas dari Jawa, mereka datang bersamaan dengan para pedagangan dari cina, arab dengan tujuan yang sama yakni berdagangan. Dan komunitas mereka juga sekarang ada di Kota Ternate. Kedatangan bangsa timur bukan saja para pedagang cina, arab, dan jawa, tetapi juga para pedagagan dari Gujarat dan Persia, tetapi mereka tidak mampu membangun komunitas yang bisa bertahan bahkan menjadi basis di negeri ini. Hal ini dikarenakan ketika kedatangan bangsa eropa di abad ke 16, menyebabkan para pedagangan memilih untuk balik berdagangan di wilayah jawa dan sebagianya pulang ke negerinya.

Hubungan Ternate dan Manado

Dalam berbagai catatan sejarah, Manado telah didiami sejak abad ke-16. Pada abad itu juga Kota Manado telah dikenal dan didatangi oleh orang-orang dari luar negeri. Sehingga nama Manado mulai digunakan secara ramai pada tahun 1623 menggantikan nama "Wenang". Kata Manado sendiri berasal dari bahasa daerah Minahasa yaitu “Mana rou” atau “Mana dou” yang dalam bahasa Indonesia berarti "di jauh". Potensi utama saat itu hingga dikenal oleh Bangsa Eropa yakni hasil buminya yakni Padi dan Kopi. Hal tersebut tercatat dalam dokumen-dokumen sejarah. Tahun 1658, seperti penjajahan belanda d daerah lain, VOC membuat sebuah benteng di Manado selain sebagai pusat pertahanan dari serangan musuh, benteng juga memiliki tujuan ganda yakni pusat penyimpanan rempah – rempah dan perdagangan. Belanda sebelumnya sudah pernah mengunjungi Minahasa. Maksud mereka yang utama ditujukan pada perdagangan beras (1607-1608). Pada tahun 1614 Belanda menempatkan suatu kekuatan yang terdiri dari tujuh serdadu di Manado, yang ditinggalkan beberapa waktu kemudian. Sejarah juga mencatat bahwa salah satu Pahlawan Nasional Indonesia, Pangeran Diponegoro pernah diasingkan ke Manado oleh pemerintah Belanda pada tahun 1830. Biologiwan Inggris Alfred Wallace juga pernah berkunjung ke Manado pada 1859 dan memuji keindahan kota ini.

Keberadaan kota Manado dimulai dari adanya besluit Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 1 Juli 1919. Dengan besluit itu, Gewest Manado ditetapkan sebagai Staatsgemeente yang kemudian dilengkapi dengan alat-alatnya antara lain Dewan gemeente atau Gemeente Raad yang dikepalai oleh seorang Walikota (Burgemeester). Pada tahun 1951, Gemeente Manado menjadi Daerah Bagian Kota Manado dari Minahasa sesuai Surat Keputusan Gubernur Sulawesi tanggal 3 Mei 1951 Nomor 223. Tanggal 17 April 1951, terbentuklah Dewan Perwakilan Periode 1951-1953 berdasarkan Keputusan Gubernur Sulawesi Nomor 14. Pada 1953 Daerah Bagian Kota Manado berubah statusnya menjadi Daerah Kota Manado sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 42/1953 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 15/1954. Tahun 1957, Manado menjadi Kotapraja sesuai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957. Tahun 1959, Kotapraja Manado ditetapkan sebagai Daerah Tingkat II sesuai Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959. Tahun 1965, Kotapraja Manado berubah status menjadi Kotamadya Manado, yang dipimpin oleh Walikotamadya Manado KDH Tingkat II Manado sesuai Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 yang disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974[14].

Mengkaji sejarah perjalanan Minahasa tidak terlepas dengan kehadiran Spanyol, walapun kedatangan bangsa eropa bukan hanya Spanyol tetapi juga Portugis dan Belanda. Pada abad pertengahan, kedua negeri Hispanik ini terlibat saling berlomba mengembangkan kekuatan maritime dan semuahnya akibat dari keinginan untuk menguasai hasil rempah-rempah di maluku. Persaingan yang bermula dipesisir Afrika Barat dimana perdagangan yang dikuasai oleh Islam moro memaksa mereka harus keluar untuk mencari kepulauan rempah-rempah yang menyebabkan mereka sampai ke Maluku Utara dan perairan laut Sulawesi. Pada tataran ini, Minahasa memegang peranan sebagai lumbung beras bagi Spanyol ketika melakukan usaha penguasaan total terhadap Filipina.

Selain Spayol yang menjadikan padi sebagai kekuatan utama untuk menguasai Filipina, Kedatangan orang-orang Belanda ke Nusantara pada tanggal 13 Desember 1599 untuk berdagang, memperluas kekuasaan dan penyebaran agama Tuhan. Pada factor ekonomi, penguasaan Padi di Minahasa adalah bagian dari tujuan tersebut. Hal ini dikarenakan saat itu, Manado memiliki Padi yang cuku banyak. Padi tersebut kemudian di perdangkan baik oleh para pedagang local, maupun para pedagang Belanda. Para pedagang local membawa padi ke Ternate untuk di tukarkan dengan sagu dan rempah-rempah lainya. Selain ke Ternate, para pedagang local di Sulawesi utara khususnya Manado juga menjual hasil alamnya ke Makasar dan pusat-pusat perdagangan di bagian timur yakni ternate dan banda. Secara politik, hubngan antara Manado dengan Ternate secara aktif terjadi ketika terjadi perlawanan masyarakat Minahasa terhadap Spanyol yang telah menyakiti hati mereka maka pada tahun 1644 berangkatlah delapan orang pemimpin Minahasa ke Ternate untuk mendapatkan bantuan dari orang-orang Belanda. Namun misi mereka di tolak oleh para penguasa Belanda yang telah berkuasanya di Maluku. Utusan kedua pun dikirim pada tahun 1653.

Karena permintaan raja Ternate, maka permintaan para utusan Minahasa itu di kabulkan dan Gubernur Seroye mengirim kapal Egmont di bawah kapten Paulus Andriessen dengan tujuh puluh serdadu Belanda dan 50 orang Mardyeker dalam beberapa kora-kora Ternate menuju Minahasa. Rupanya orang-orang Ternate tak membantu dengan sepenuh hati. Hal itu berlaku sebagai akibat kekalahan pasukan gabungan Belanda.

DAFTAR PUSTAKA

Amal,M Adnan. 2007. Kepulauan Rempah-Rempah Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950. Makasar : Nala Cipta Litera

Alwi,Des. 2005. Sejarah Maluku Banda Naira, Ternate, Tidore dan Ambo. Jakarta : PT Dian Rakyat

Lapian, A.B. 2008. Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad Ke- 16 dan 17. Jakarta : Komunitas Bambu

Lapidus, Ira.M. 2000. Sejarah Sosial Ummat Islam. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Polinggomang, Edward L. Proteksi dan Perdagangan Bebas: Kajian tentang Perdagangan Makassar pada Abad Ke-19, 1991, (Disertasi) : Vrije Universitet Amsterdam

Ricklefs.M.C. 2005. Sejarah Indonesia Moderen. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Reid, Anthony. 1999. Dari Ekspani Hingga Krisis II Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara 1450-1680. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia

Sjamsuddin, Helius. 2007. Metodologi Sejarah. Yogyakarta : Ombak

Vlekke. Bernard H.M. 2008. Nusantara sejarah Indnesia. Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia

http/www.maritimsulut.com. Akses 03 Mei 2010

http:/artolpha.anu.au/web/arc/resources/pacifis/maluku utara.



[1] Makalah yang di sajikan pada Dialog Studi Sejarah yang dilaksanakan oleh Himpunan Mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Khairun Ternate di Aula Universitas Sam Ratulangi Manado pada tanggal 22 Mei 2010

[2] Mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Khairun Ternate

[3] Sumber Internet http.www.maritmebangka.com./degal/came/.sulawesi utara.

[4] H. Adnan Amal. Kepulauan Rempah-rempah perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950. (Gora Pustaka Indonesia).hlm 231

[5]Bernard H.M Vlekke, Nusantara Sejarah Indonesia, Kuala Lumpur Malaysia: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1967, hlm. 54.

[6]Lihat Edward l. Polinggomang, Proteksi dan Perdagangan Bebas: Kajian tentang Perdagangan Makassar pada Abad Ke-19, 1991, Disertasi Vrije Universitet Amsterdam, hlm.19-20

[7]R. Z. Leirissa, “Maluku Tengah dalam Abad Ke-19”, dalam Prisma No. 8 Agustus 1980 Tahun IX.

[8]A. B. Lapian, Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad Ke- 16 dan 17, Jakarta : Komunitas Bambu, 2008, hlm. 82 -81.

[9]Ibid.

[10]Orang Jawa sering memakan daun sirih, gambir, sedikit batu kapur, dan sebagai pembersih digunakan tembakau. Inilah yang disebut nginang dalam istilah Jawa, sedang orang-orang Indonesia Timur menginang menggunakan buah pinang.

[11] ANRI, Arsip Banda, No 69.

[12] Ibid.

[13]Ibid. Dari arsip ini dapat dilihat berbagai macam barang dagangan yang dapat dikelompokkan dalam berbagai keperluan.

[14] Sumber http/www.maritimsulut.com.